Tuesday, July 28, 2015

Rumah Masa Kecil - 15 Juli 2015


Rumah masa kecil. Di rumah ini hanya ada 1 kamar untuk bapak dan ibu. Kami empat bersaudara -laki laki semua- terbiasa tidur di mana saja memilih sudut nyaman di rumah ini. Tapi kini, kami memiliki rumah kami sendiri dan kamar untuk anak-anak kami.

Tak ada garasi, lha kami dulu tak punya mobil. Tapi kini, kami semua -alhamdulillah- hidup sebagai kalangan menengah di ibukota negeri yang bisa mudik dengan kendaraan roda empat.

Setiap hari, kami berempat bergiliran menimba air dari sumur besar di samping rumah. Untuk mengisi bak mandi, minum dan berbasuh wudhu sebelum sembahyang. Walau hidup sulit, tiap kena udara dingin selalu biduren karena kata dokter kurang kalsium, tapi selebihnya kami sehat. Lepas SMA satu demi satu dari kami pergi merantau menemukan jodoh dan peruntungan kami sendiri-sendiri : terutama mimpi memiliki kamar mandi yang bak mandinya tak perlu ditimba airnya untuk mengisi.

Di rumah ini tak ada meja makan, hanya ada sebuah lemari makan kayu yang masih ada hingga kini. Kami selalu berhitung atas jatah perkedel, tempe goreng dan kerupuk supaya semua kebagian. Sama seperti tidur, saat makan kami juga tinggal memilih sudut yang nyaman untuk menyendok nasi.

Di rumah ini, aku bangga memiliki ibu dan bapak yang luar biasa berani. Berjuang membesarkan empat orang anak lelaki : tanpa harta yang berlebih, tanpa kemanjaan metropolis dan kepemilikan-kepemilikan semu.

Kami bangga pada Bapak dan Ibu, karena mereka telah membentuk kami seperti ini. Empat lelaki yang pergi dari kampungnya hanya membawa satu tas baju dengan semangat membara.

Kami pergi dari rumah ini, Karena yakin impian esok hari layak diperjuangkan. Kami pergi, karena kami ingin selalu kangen pada rumah ini.

Rumah tanpa kamar dan meja makan luksuri.

Masa Kecil yang Letih - 18 Juli 2015

Masa kecil yang letih. Ini adalah SD tempatku menghabiskan sebagian masa kecil. Bangunannya sudah jauh lebih keren dibandingkan jaman aku bersekolah disini, 30 tahun lalu.

Dulu, saat "menginjak" kelas 2,3 dan 4 kami harus masuk siang, karena ruangannya harus bergantian. Masuk jam 13 siang, kami dengan semangat sudah ada di sekolah pukul 11. Para laki-laki akan "stand by" di halaman pabrik kacang seberang sekolah ini. Halaman yang naik turun tak rata adalah semacam Gelora Bung Karno dengan bola plastik yang sudah ditambal selotip di sana sini. Kami lepas baju, sebagian berkaos kutang dan sebagian telanjang dada, kami berlaga bak Lionel Messi atau Ronaldo. Jangan bayangkan bau keringat kami saat bel masuk kelas berbunyi. Jaman itu, deodoran adalah keniscayaan.

Kami mencatat pelajaran dalam satu dua buku yang sama, untuk berhemat. Sampul bukunya berwarna biru tekstur kasar, plus label nama dengan logo bergambar banteng di pojoknya. Buku garis-garis yang memaksa tulisan genre cakar ayam kami berada di jalan yang benar.

Bila bel besi dipukul tanda istirahat berbunyi, maka kami akan memastikan berada di garis depan lapak mbok bon : bukan mau jajan, hanya untuk melihat siapa teman yang beruntung bisa jajan hari itu. Lalu kami merayunya, minta sedikit bagian dari keberuntungannya itu. Bisa es mambo atau bakwan disiram kuah kacang yang entah sudah diencerkan berapa kali.

Pulang sekolah adalah saat yang dinanti. Kami bergegas pulang, menyiapkan sepeda. Sore adalah saat indah untuk pit-pitan, alias keliling kampung pakai sepeda. Bila kini ada "Bike to Work", maka mungkin bila ditelusuri, kamilah pelopornya *sombong dikit*. Tak cukup berkeliling kampung, kami pit-pitan hingga ke pelabuhan. Sepedaan melewati jalan raya adalah bentuk kesombongan lain kami, anak-anak kampung. Walau kadang resiko disetrap di rumah, makan tanpa dibagi lauk, harus kami terima bila masuk ke rumah selewat maghrib.

Apakah hidup kami selesai saat maghrib tiba?. Tidak. Sehabis mandi, menggosok daki dan membuang bau keringat, kami berkumpul di rumah Haji Masduki dan sebagian di Masjid Al Mustaqim. Mengaji. Memakai sarung ala Ninja, atau saling sabet dengan sarung adalah keriaan tersendiri. Ini juga permainan beresiko, bila ketahuan pak Haji Masduki. Maka jari kami akan bilur biru dihantam tongkat rotan yang dipakainya mengajar ngaji.

Malam, lepas isya bila bulan bersinar penuh, kami akhiri hari dengan permainan tungpet (petak umpet) atau tongyak (kejar-kejaran). Menyisakan lagi keringat bau kecut sebelum kami berkemul sarung, bertebaran tidur melingkar di sudut-sudut rumah yang tak ada kamar.

Kami dulu tak punya tab atau ipad, tak kenal playsration atau X Box. Kami dulu adalah generasi yang berkeringat, generasi yang letih.

Letih dalam kegembiraan bermain. Tanpa beban, hanya gembira. Itu saja.

Berbisnis dengan Cinta - 18 Juli 2015

Berbisnis dengan cinta. Namanya bu Supardi, itu ikut nama suaminya. Tapi di Pasar Petarukan -Pemalang, namanya ngetop dengan bu Bajul : sesuai "nickname" suaminya.

Kiosnya hanya sepetak kecil, yang diperjuangkannya dengan hidangan super sederhana : tahu campur. Ramuannya hanya tahu dipotong, lontong, potongan kecil kol dan sejumput tauge mentah. Tapi entah kenapa, sejak kenal menu "creme de la creme" ini 30 tahun lalu, sejak makan hanya bisa kalau dibayari orang tua, hingga bisa membayar untuk anak istri : saya merasa harus mampir dan mampir lagi.

Pak dan bu Bajul sudah berdagang menu sophisticated ini sejak 1970 an, jauh sebelum ibu saya menikah bahkan. Di tempat yang sama, dengan passion yang sama. Dan hafal walau kami datang paling setahun sekali.

Maka inilah berbisnis dengan cinta, dengan cobek dan ulekan yang sama. Tak ada gincu-gincu polesan, semua apa adanya. Tak ada yang dipamerkan, apalagi dengan selubung-selubung "kerendahan hati" yang sebenarnya untuk meninggikan mutu.

Maka, mungkin inilah resep yang membuat saya, dan mungkin ribuan pelanggan pak dan bu Bajul ber-rendevouz di kios kecil, sumuk dan begitu-begitu saja. Lagi dan lagi.

Maka, itulah mudik. Untuk diingatkan agar kepala harus lebih banyak menunduk.

Tidak sombong, tidak pongah. Apa adanya.

Cerita tadi malam - 20 Juli 2015

Cerita tadi malam, cerita tigapuluh tahun lalu. Maka, inilah kami, "laskar pelangi" SD Wonodri 3 Semarang. SD kecil -dengan hanya 3 ruang kelas yang dipakai bergantian- di seberang pabrik kacang dan sumur bong. Ya, sumur lebar yang memenuhi hajad ber-air kampung Wonodri.

Begitu saja kami bertemu, ngobrol hingga dini hari. Berbicara soal tugas mengambil kapur tulis di ruang guru, kisah para teman : si upik yang jadi abu dan si abu yang jadi upik. Kami mengenang masjid tempat kami mengaji, para khotib yang dulu kami mintai tanda tangan di buku catatan khotbah sholat Jumat. Kami berbicara dan tertawa mengenang masa kecil dilempar penghapus papan tulis karena berisik atau mengantuk di kelas.

Kisah-kisah anak yang dulu tak tahu masa depannya akan menjadi apa. Hingga datang tadi malam, dari timur dan barat kami bertemu berbicara nasib teman -teman yang kini menjadi penjaja baso penjaga toko kain, manajer isi ulang gas elpiji, tukang tambal ban dan tentu saja pegawai negeri. Sebagian teman malah sudah lebih dulu menghadap Yang Kuasa.

Tadi malam, kami bercanda mengingat celana seragam yang kerap robek karena ulah tak bisa diam kami.
Bukan sibuk membanggakan merk celana yang kini kami miliki.

Jalan (memutar) yang Lengang

Jalan (memutar) yang lengang. Alhamdulillah, perjalanan pulang ke asal sudah selesai. Berangkat ke Semarang minggu lalu hanya perlu 7.5 jam (disaat beberapa teman perlu waktu hingga 24 jam !).

Tadi pulang ke Bogor hanya perlu (waktu bersih, setelah dipotong tiga kali istirahat dan menikmati nanas tuwel yang manis dan super murah) sebelas jam saja. Bila teman-teman terjebak macet di jalur pantura, alhamdulillah kami tidak.

Kami mengambil rute memutar yang lengang, lebih panjang 70 km dari jalur biasa, melintasi jalan mulus, sepi di pinggang gunung Slamet. Melewati daerah wisata Moga dan Guci di Tegal.
Hidup juga kadang begitu, bila tak mau "gerah berdesakan" kadang kita harus mau belajar mencari rute-rute baru, berputar lebih jauh namun lengang.

Kesasar sedikit juga tak apa.

Mudik

Pelajaran penting dari Mudik kemarin adalah : TUJUAN harus DITETAPKAN, namun JALAN menuju tujuan bisa kita PILIH.

Diskusi

Bilamanakah ini disebut sebuah diskusi : Bila yang bertanya hanya sibuk mempertahankan pertanyaan tanpa sebenar-benarnya mencari jawaban atas pertanyaannya. Serta yang menjawab hanya menjawab untuk menunjukkan dirinya benar, menggalang dukungan atas jawaban benarnya dan tak benar-benar serius mencari dalil atas jawabannya.

"...Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan dengan menyiramkannya ke muka...- Mas Ali pada Moek" ( Kambing dan Hujan, Mahfud Ikhwan-Hal. 167).

Kambing dan Hujan

Kambing dan Hujan. Selalu menyenangkan menemukan buku, apalagi ini roman, yang melemparkan pada ingatan masa kecil. Cukup dua hari, di sela pekerjaan, untuk mengganyang isi buku ini.

"Perbedaan" utara dan selatan, seperti memaksa saya mengingat kembali Masjid lor di Bondalem dan Masjid kidul -kami dulu menyebutnya- masjid PAYM (karena berada satu kompleks dengan Panti Asuhan, SD dan RS Roemani milik Muhammadiyah).

Saya kecil mengaji, belajar sembahyang di masjid lor. Keseharian sembahyang (maaf, istilah sholat baru dipakai setelah saya berada di bogor. Orang kampung saya -dulu- menyebut sholat dengan sembahyang) berjamaah, jujur saja bukan karena mengejar pahala berlipat, tapi karena seru saja sembahyang ramai-ramai dan boleh berteriak "Amiiiiiiiiin" sekencangnya tanpa takut ketahuan. Betapa tak asyik sembahyang sendiri, karena tak bisa ber-amin ramai ramai. Sembahyang bersarung pun bukan karena ingin disebut islami, jaman itu memakai celana panjang adalah kemewahan. Celana yang kami pakai adalah celana pendek untuk "dolan" bahkan kadang sekolah. Sarung kami simpan di dalam bedug.

Masjid lor mengajarkan kami membaca qunut saat sembahyang subuh, masjid kidul tidak. Kami, anak-anak kecil, yang menganggap masjid lebih sebagai tempat hang out tak mempermasalahkan itu, malah kadang kami menukar "berqunut" sebagai ekspresi kenakalan. Di masjid lor, ketika orang-orang tua di barisan shaf depan sedang membaca qunut, kami langsung sujud. Sebaliknya bila di masjid kidul, kami nekat berdiri membaca qunut saat yang lain sudah sujud.

Semoga sembahyang kami masa kecil masih tetap masuk hitungan amal baik oleh malaikat Rakib dan tidak keliru masuk catatan malaikat Atid. Fatal kalau keliru, soalnya masa kecil itu tak mungkin di-re run.
Novel ini, membongkar kenangan itu. Kenangan pada masjid Lor dan Masjid Kidul. Saat itu bensin murah, presidennya suka senyum di TVRI menggunting pita.

Jaman itu pakaian, postingan di fesbuk dan grup watsap belum menjadi tolok ukur kadar keislaman. Jaman yang berbeda dengan sekarang.