Monday, December 8, 2014

Empat Ratus Juta Rupiah, 4 November 2014

EMPATRATUSJUTA RUPIAH. Baiklah, Kisah ini saya mulai dari sebuah Bank swasta di kota Malang, enam tahun silam. Menunggu di lounge khusus nasabah prioritas, dia ngobrol dengan seorang satpam yang bertugas saat itu, di situ. Usianya belum genap 35 tahun, dan satpam itu lima tahun lebih tua. Obrolan biasa, seorang nasabah prioritas dengan seorang satpam.

Hingga sampailah pada sebuah topik, pak satpam bercerita soal gajinya yang sudah tiga tahun tak beranjak, sementara kebutuhan semakin banyak. Dia-tokoh kita ini- tekun mendengar cerita, dan mengangsurkan kartu namanya pada pak Satpam. " Pak, temui saya di kantor saat nanti bapak off kerja, siapa tahu saya bisa memberikan jalan keluar. Hanya syaratnya, Bapak mau belajar saja," katanya. 

Singkat cerita, empat tahun kemudian nasib pak Satpam sudah berubah luar biasa. Selembar kartu nama, kemauan belajar, ketekunan serta ridhoNya ikut menentukan perubahan nasibnya. Kini dia memimpin empatpuluh anggota tim, dan ber-Terios putih baru kemana-mana. Hal yang sama, juga terjadi pada beberapa ibu rumah tangga, karyawan swasta yang mulai lelah dengan karirnya dan sales sabun cuci yang tetap ingin bisnis sabun cucinya tetap bisa bekerja : yamg ditemui tokoh kita ini di swalaya, rumah sakit dan pompa bensin.

Dia, tokoh kita ini, berbisnis "membangun manusia".

Kemarin saya menemuinya. Karena Senin, dia berpuasa. Dia sudah ikut "membangun" 500 orang yang kini menjadi bagian timnya dan satpam yang ditemuinya enam tahun lalu adalah salah satunya. Dari para tiada menjadi berada. Dibawanya kami, saya dan istri, berkeliling kota Malang dengan mobil Lexus putihnya, yang saking halus suara mesinnya : itu mobil nyala atau mati tak ada bedanya. Dia memimpin sholat ashar di masjid dekat kantornya, dan bernasehat pada tim yang di pimpinnya seolah usianya sudah tua.

Mas Eka, terimakasih sambutannya, sharing ilmunya. Saya tak syak, Tuhan berikan anda penghasilan Rp 400 juta rupiah per bulan sebagai imbalan, karena anda sudah menjadi saluran rezeki dan ilmu buat manusia lainnya.

Tanpa teriakan, kepongahan, kepalsuan, caci maki serta berbagai retorika di media sosial. Teriakanmu hanya lewat kerja nyata, prestasi dan inspirasi. Dia tak hanya memikirkan bagaimana mengisi perutnya sendiri, atau bagaimana rumahnya harus makin megah berdiri. Dia berbagi dengan cara yang para pendengki bilang : ah, jualan asuransi.

Mas Eka : itu mengapa, kami datang jauh untuk belajar dari anda.

Melawan Nasi Pecel, 5 November 2014

MELAWAN NASI PECEL. Menjual bubur ayam di tlatah negeri orang yang punya konsep sarapan itu harus nasi pecel, pasti tidak mudah.
Tapi, kalau itu mudah tentu tidak akan jadi cerita indah untuk mbak Astrid dan suaminya, pemilik "resto" bubur ayam Abah Odil di Malang. Merintis dan membesarkan usaha dari kaki lima, hingga kini menjadi "resto" bubur -yang barangkali- terbesar di kota Malang adalah sepotong kisah indah yang saya rekam tadi pagi, saat kami berempat bertemu di lobby hotel tempat kami menginap.
Istri saya mengenal mbak Astrid sudah lama, semasa dia dan suaminya masih tinggal di Bogor sepuluh tahun lalu. Suaminya, dulu bekerja di sebuah kantor BUMN, bergantung pada tanggal duapuluhlima ke tanggal duapuluhlima yang lain. Hingga mereka memutuskan hijrah, ke sebuah kota dimana orangtua mbak Astrid sedang merintis berdagang bubur ayam di negeri para pelahap nasi pecel sebagai sarapan.
Dari kios kali lima pinggir jalan, kios semi permanen, hingga ruko keren di jl Soekarno Hatta sudah mereka lewati. Saat pertama berdagang bubur ayam, orang sekitar mereka mencibir," Mana laku jualan makanan buat orang sakit".
Di negeri pelahap nasi pecel sebagai sarapan, bubur adalah makanan untuk orang sakit tipes dan hepatitis.
Tapi mereka tak menyerah. Mereka kini menceritakan dongeng indah. Dongeng kesuksesan enam cabang kedai bubur ayam "Abah Odil" di kota Malang.
Mbak Astrid dan suaminya percaya bahwa manusialah yang menciptakan sekat bilik dalam tiap rentangan waktu. Yang semakin kecil bilik itu membuat mereka semakin nyaman. Sekat bilik itu berbentuk jam sembilan hingga jam lima, tanggal duapuluh lima dan beberapa festival bernama liburan.
Mereka tak mau terperangkap dalam sekat bilik dan festival itu. Mereka bekerja tak kenal waktu, mereka ciptakan festival liburan mereka sendiri tanpa sesak dan antri..Mereka percaya bahwa rentang penciptaan sukses bukan bergantung dari ukuran tanggal duapuluhlima ke tanggal dua puluh lima berikutnya. Mereka percaya bahwa sukses tidak berada di bilik waktu yang sesempit itu.
Satu dekade yang mereka perlukan untuk membuktikan. Mengalahkan dominasi nasi pecel di menu sarapan pagi, mengalahkan keinginan menyerah karena cibiran dan kata orang.
Mbak Astrid dan suami, terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi inspirasi untuk kami. Semur jengkol "Bang Odil" nya, kata istri saya, juga enak sekali.

Dari Pinggir Rel Melawan Jaman, 7 November 2014

DARI PINGGIR REL MELAWAN JAMAN. Dengan yakin resepsionis hotel tempat saya menginap bilang," Bapak naik taxi saja, semua sopir taxi di Malang tahu dimana bakso President". Jawaban ini melegakan, dan makin memperdalam rasa penasaran saya.

Berada tepat di pinggir rel, dan kalau beruntung pas jadwal kereta lewat, saya kira ada sensasi luar biasa makan bakso -enak- dengan getaran hebat di meja tempat kita makan.

Bakso President, konon berawal dari usaha bakso gerobakan Abah Sugito, tepatnya di tahun 1977. Lima, enam tahun dia berjuang, hingga mampu membuka rombong kecil di belakang bioskop President, Malang. Mudah? pasti tidak.

Bioskop itu kini sudah tiada, dilibas jaman.

Tapi bakso President terus bergerak melawan jaman. Di Tahun 1990 an dia banyak melakukan inovasi, tiada henti. Mendaftarkan mereknya, memperkaya varian bakso, hingga berusaha membuat sistem franchise. Dari pinggir rel, dia terus melawan jaman. Melawan naik turunnya berbagai rezim, melawan harga BBM yang terus naik, melawan -apa yang para kritikus super pandai itu bilang- kebijakan anti rakyat.

Maka lihatlah kita, BBM belum naik kita sudah buru-buru mengeluh. Sebaiknya kita semua buru-buru ke bakso President, mengunyah bakso dan belajar baik-baik cara mengalahkan jaman.
Tanpa keluhan, tanpa heroiknya teriakan-teriakan : di jejaring sosial. Kerja, kerja, kerja.

Hanya Mengutip, 8 November 2014

HANYA MENGUTIP. Ide, entah kenapa, malas datang di malam minggu. Tapi baiklah, daripada kosong wall ku ini, aku kutip saja sebuah kisah.
----------------------------------------------------------------------------------------------
...Alkisah, sebuah kapal kecil mengalami kecelakaan di laut. dari sekian banyak penumpang yang menjadi korban, ada seorang yang pandai berenang sehingga berhasil menyelamatkan diri ke sebuah pulau terpencil, tak berpenghuni.

Di pulau itu, dengan sabar dia menunggu kalau-kalau ada kapal yang mampir. Di pulau itu sering turun hujan lebat, dan ketika sedang cerah, cuaca sangat panas. Oleh karena itu dia membuat gubuk untuk bernaung dari terik panas matahari dan curah hujan.

Dia bertahan hidup dengan mencari buah-buahan, menangkap ikan, dan rajin berdoa kepada Tuhan : semoga segera datang pertolongan. Namun, lama dia berdoa, belum juga ada tanda-tanda datangnya pertolongan.

Suatu hari, setelah seharian mencari kayu dan buah-buahan, gubuknya terbakar. Dia menangis pilu,"Ya, Tuhan, apa salah dan dosaku? Tega nian Engkau melakukan ini kepadaku. Satu-satunya milikku hanyalah gubuk ini untuk bertahan hidup, tetapi sekarang terbakar."

Besok paginya, masih dalam keadaan sedih karena gubuknya terbakar, dia melihat ada kapal mendekat ke pulau itu yang datang menawarkan pertolongan. Dia kaget sekaligus gembira.
Dia pun bertanya awak kapal penolong,"darimana saudara tahu bahwa saya sudah lama terdampar di pulau ini, dan siang malam berdoa kepada Tuhan menunggu pertolongan?"

Si penolong pun menjawab,"Aku melihat asap membubung dari pulau ini. Aku yakin pasti ada seseorang yang memerlukan pertolongan, aku pun datang ke sini, dan dugaanku benar. ayo segera naik, kita kembali ke daratan".

(Dikutip dari Bab : Gubukku Terbakar, Hal : 268-269, Buku : PATH of LIFE, Komaruddin Hidayat, 2014)
--------------------------------------------------------------------------
Hikmahnya : Pertama, Kadang pertolongan datang didahului dari sebuah "penampakan" bernama cobaan. Perlu kepekaan kalau sudah mengalami ini. Kedua, sekalipun rajin berdoa jika tidak disertai usaha rasional dan sungguh-sungguh, tak akan terjadi keajaiban. Seperti masuk ATM, pencet PIN-nya salah maka uangnya tak bakalan keluar.
Semoga yang membaca, malam minggu ini bisa sok bijak dan sok alim seperti saya malam ini.

Di Tanah Abang, 9 November 2014

DI TANAH ABANG. Sementara engkau sedang mendengkur menikmati tidur siang. Orang di sini, di tanah abang, sedang sibuk berkerja, berdagang dan menghitung uang.

Itu jawaban kenapa tangan mereka bergelang, telinganya bergiwang. Sementara hidupmu masih berhenti di mimpi dan awang-awang.

Di Tanah Abang, mereka berjuang.

Kisah Arloji yang Hilang, 10 November 2014

KISAH ARLOJI YANG HILANG. Alkisah, seorang tukang kayu kehilangan arloji yang sangat dicintainya. Dia menduga barang itu terjatuh dan terbenam di tumpukan seruk kayu. Olek karena itu, dia berusaha mencari-cari dan membongkar tumpukan kayu, tetapi tidak juga ketemu.

Teman-temannya ikut membantu bongkar sana, bongkar sini, tetapi tidak juga berhasil menemukannya. Ketika tiba waktu makan siang, tukang kayu itu meninggalkan tempat kerjanya dengan perasaan kecewa dan kesal : mengapa jam kesayangannya hilang ?

Setelah itu, seorang anak yang ternyata memperhatikan tukang kayu saat mencari arlojinya yang hilang, mendekat. Tak lama kemudian, anak tadi berhasil menemukan arloji tersebut. Si tukang kayu heran dan bertanya, apa yang dilakukan anak itu sehingga cepat menemukan jam tangannya ? Anak tersebut menjawab:" Aku hanya mendekat dan duduk di lantai. Aku pejamkan mata, mendengarkan keheningan, lalu terdengar detak jarum arloji itu. Akhirnya aku menemukan arloji itu". (Bab: Kisah Arloji yang Hilang, Hal : 272-273, Buku : Path of Life-Komaruddin Hidayat, 2014)
---------------------------------
Maka bila arloji adalah keputusan, keinginan, mimpi atau cita-cita yang harus ditemukan, dia menjadi tujuan kita "berjalan", arah proses pencarian. Dan untuk menemukan keputusan, mengambil arah, menemukan arah benar cita-cita : diperlukan keheningan hati, pikiran dan sikap.
Gaduh, bimbang galau, kebanyakan ngomong dan curhat itu menganggu proses penemuan mimpimu.

Mencintai Dunia, 12 November 2014

MENCINTAI DUNIA. Sore kemarin hujan, tapi tak ada hubungannya dengan cerita yang saya niatkan untuk tuturkan, sama sekali tidak. Tapi hujan kemarin mengantar kami, saya dan seorang teman yang sudah 20 tahun tak ketemu, pada sebuah diskusi hangat.
" Aku sekarang sibuk menjalankan hobby dan pekerjaanku,"kataku saat dia bertanya apa aktivitasku. Dia tak ber-facebook, produk Yahudi katanya. Dia tak henti bertanya soal kesibukanku, dan aku dengan senang hati menjelaskannya.
"Pekerjaanku saat ini mengantar anak-anakku sekolah di pagi hari, kadang menjemput kalau mereka menginginkannya. Menemani mereka jalan saat mereka jenuh dengan rutinitas. Aku juga sibuk dengan pekerjaanku yang lain travelling, serta gowes sepeda hingga berkeringat. Tak lupa, untuk keseimbangan, aku menjalankan hobiku. Saat ini ada tiga hobi yang sangat getol aku jalani : mengelola jualan kopi, menjadi Financial Planner atau orang bilang agen asuransi, dan banyak menulis serta mengisi seminar soal kemandirian dengan menjadi seorang entrepreneur".
Dia terhenyak, dengan "sengak" dia bilang, aktivitasmu terlalu berpusat pada dunia, kamu terlalu mencintai dunia. Buat apa sudah punya usaha, masih jadi agen asuransi segala. Semua hartamu akan dihitung dan ditimbang di akherat.

Ah, saya hanya bilang", Dulu ketika saya melamar istri saya, kondisinya berkecukupan-bukan berkelebihan. Orangtuanya dulu merawatnya dengan baik, makan cukup tiga kali sehari dengan nasi dan lauk yang enak. Setiap hari Minggu, orang tuanya mengajaknya berjalan-jalan ke kebon binatang atau sekedar melepas penat di taman. Dia wanita yang dibahagiakan oleh orangtua, orangtua yang berjuang keras agar anaknya bahagia".

Lalu, kalau sekarang, setelah jadi istriku nasibnya jadi sengsara betapa berdosanya saya. Dulu dia makan nasi tiga kali sehari, sekarang cuma makan indomie? Dulu dia acap melepas penat dengan berjalan melihat taman, tak salah bila kini aku bekerja keras agar dia bisa ikut melihat indahnya kota-kota di bumi beserta manusia yang hidup di dalamnya. Tak mungkinlah, dulu orangtuanya membahagiakannya, sementara aku menjerumuskannya dalam sengsara.

Lalu kalau anak-anak menjadi pendek cita-cita karena melihat orangtuanya hidupnya sengsara, tentu lebih berdosa lagi saya. Mereka tentu harus lebih baik hidupnya dari kami orang tuanya.

Seorang anak pasti melihat sepak terjang orangtuanya. Dia meniru dan meneladani. Bagaimana memberi mereka -setidaknya rencana- berumroh dan berhaji, kalau kita hanya ngomong saja. Bagaimana memberi sedekah : kalau mereka melihat kami, orangtuanya, lebih banyak bertengkar soal uang belanja yang kurang ketimbang beneran bersedekah dan berderma.

Maka, saya memungkasi diskusi, biarlah hidup seperti terlihat mencintai dunia, aku ingin kaya seperti Nabi Sulaiman Sederhana saja, aku ingin orang yang hidup bersamaku : istri, anak, pembantu para karyawan di gerai kopi, tim-ku di asuransi juga senang dan bahagia hidupnya. Bukan bahagia semata karena banyak uangnya, tapi karena mereka juga ikut membahagiakan orang lain di sekitar mereka.
Biarlah labelmu soal " mencintai dunia" menempel kepadaku. Doaku hanya satu, semoga besok tak kau suguhi anak dan istrimu dengan menu indomie setiap hari.

Pak Kusno Hadi, 14 November 2014

PAK KUSNO HADI. Saat ditemui wartawan, kemarin, langkah mundurnya sudah sampai daerah Subah-Batang. Beberapa kilometer menjelang kota Pekalongan. Dia asli Malang, 66 tahun, ditemani anaknya berjalan mundur dari Malang ke Jakarta, dan kali ini untuk ke tujuh kalinya.

Niatnya cuma satu : bersalaman dengan presiden terpilih.
 Tentu, dibutuhkan tekad yang sangat kuat.

Bahkan berjalan kaki biasa -maksudnya, tanpa mundur- dari rumah ke minimarket depan kompleks saja sudah jadi masalah tersendiri buat beberapa dari kita : lemah tekad. Naik motor, dengan bensin bersubsidi adalah kompensasi dari lemah tekad itu. Setelah itu, kami dengan tekad kuat berteriak lantang di fesbuk saat subsidi untuk kelemahan tekad kami dicabut, sambil antre mengisi bensin bersubsidi untuk mobil kilap kami.

Di hari-hari ini tekad kuat seperti pak Kusno Hadi selalu menjadi inpirasi. Dia diperlukan untuk orang seperti saya yang bertekad update status fesbuk tiap hari (tanpa harus peduli dibaca orang atau tidak). Tekad kuat juga diperlukan oleh sebagian orang untuk mengkritik pemimpinnya, sampai kadang sudah tidak jelas lagi : itu mengkritik atau menghasut dan menghina. Perlu tekad kuat pula untuk terus konsisten "mengkritik" sambil menunggu gajian tiba.

Pak Kusno, jangan lupa jas hujan, Akhir-akhir ini hujan air sudah sering turun, saat musim hujan "kritik" mirip hinaan tak kunjung reda. Jalan, jalan, jalan.

Reuni Lagi, 17 November 2014

REUNI, LAGI. Memandangi foto ini, hari ini, mungkin tidak terlalu banyak arti. Tapi bila mesin waktu benar ada, dan kita bisa memandang foto ini dari kejauhan 25 tahun lalu : tentu akan berbeda. Duapuluhlima tahun lalu saat kita memilih belajar di lapangan takol untuk melawan lapar dan bosan di kos-kosan. Saat kita hati kita patah menerima kenyataan jatuhnya nilai ujian. Tapi bukankah sekarang kita sadar, nilai yang buruk bukanlah indikasi kebodohan. Duapuluh lima tahun sudah membuktikan, berbagai ujian sulit di dunia sudah kita taklukan.

Juga bila mesin waktu itu mampu melontarkan kita jauh 25 tahun ke depan. Akankah foto ini akan menjadi sesuatu yang manis bernama kenangan ? Aku tak Tahu. Karena kita tak pernah tahu, sampai mana umur kita nanti. Umur bisa tersisa dua menit, satu jam atau seabad lagi.

Dan foto-foto ini akan nyaring berbunyi, saat kesempatan bertemu itu tak pernah ada lagi.
— with Uina Wismartani.
REUNI, LAGI.  Memandangi foto ini, hari ini, mungkin tidak terlalu banyak arti.  Tapi bila mesin waktu benar ada, dan kita bisa memandang foto ini dari kejauhan 25 tahun lalu : tentu akan berbeda.  Duapuluhlima tahun lalu saat kita memilih belajar di lapangan takol untuk melawan lapar dan bosan di kos-kosan.  Saat kita hati kita patah menerima kenyataan jatuhnya nilai ujian.  Tapi bukankah sekarang kita sadar, nilai yang buruk bukanlah indikasi kebodohan.  Duapuluh lima tahun sudah membuktikan, berbagai ujian sulit di dunia sudah kita taklukan.

Juga bila mesin waktu itu mampu melontarkan kita jauh 25 tahun ke depan.  Akankah foto ini akan menjadi sesuatu yang manis bernama kenangan ?  Aku tak Tahu.  Karena kita tak pernah tahu,  sampai mana umur kita nanti.  Umur bisa tersisa dua menit, satu jam atau seabad lagi.

Dan foto-foto ini akan nyaring berbunyi,  saat kesempatan bertemu itu tak pernah ada lagi.

Ngepasin dan Ngipasin, 20 November 2014

NGEPASIN DAN NGIPASIN. Seingat saya, lelah belum selesai dan mata masih terkantuk saat kereta yang saya tumpangi beranjak pergi dari Stasiun Cikini -beberapa langkah berkeringat- dari tempat saya berkantor : Majalah DR. Februari 1998 baru saja selesai, Maret baru berjalan tujuh hari dan saya baru saja selesai membungkus, mengirim majalah DR dari percetakan ke agen. Peran sepele di sebuah perusahaan penerbit majalah.

Tak ada kabar apapun, hingga sore yang letih itu, seseorang dari kantor menelpon bahwa majalah DR -tempat saya bekerja- hilang dari pasaran, diborong dari tangan agen. Saya pikir -tadinya- ini adalah sebuah kabar gembira. Malam, teman ini menelpon lagi, minta saya nonton TV. Di tabung kaca, Menteri Penerangan saat itu, Jendral R Hartono, marah-marah. Situasi berubah genting.
Besok akan ada rapat darurat dengan direksi, kata teman yang bertelepon ini.
Setengah tergopoh, esok harinya, saya, beberapa teman dari redaksi bertemu dengan direksi yang berwajah sangat serius pagi itu. Duduk di sudut meja rapat, seorang pengacara kondang yang waktu itu hanya saya sering lihat wajahnya di koran dan majalah. Kesimpulan rapat pendek pagi itu, tugas saya mencatat permintaan ulang dari agen serta cetak ulang bila perlu. Pekerjaan penting lainnya para senior saya di redaksi yang meng-handle.
Situasi panas tak mereda hingga Maret menginjak hari ke sepuluh. Di Bursa Budi Utomo, saya sedang duduk mengobrol di tempat Parasian Sihite -yang kini sudah tak tahu di mana rimbanya- saya disusulin seorang teman.

"Segera balik ke kantor, situasi makin panas. beberapa orang dipanggil ke Mabes Polri untuk diinterogasi", katanya serius sambil mengelap peluh dari dahinya. Matahari sudah menjelang lingsir, ketika saya dipanggil balik ke ruang rapat. Direksi mengangsurkan selembar surat, saya dipanggil ke Mabes Polri. Saya pikir tamatlah riwayat.

Dengan metromini Pasar Minggu-Blok M saya hadapi hari-hari pemeriksaan penuh tanya : bagaimana masa depanku, bagaimana masa depan anak istriku bila benar aku terlibat kasus serius ini. Mengedarkan media makar, media penghina presiden.

Tapi Tuhan berkata lain, gerakan reformasi pun pecah. Kami yang dituduh makar, dilupakan. Demonstrasi dan aksi-aksi yang mulai panas lebih penting dari kami -karyawan media yang "tak ada duitnya". Setidaknya itu yang saya dengar dari perwira polisi yang bolak-balik memeriksa kami.
Majalah DR (dan belakangan TEMPO), orang-orang di dalamnya tempat saya belajar. Belajar bahwa perlu keseriusan yang sangat saat mengungkap kebenaran. Belajar bahwa resiko adalah teman dekat untuk membuka yang tersembunyi dan disembunyikan. Belajar bahwa menuliskan berita, dan kemudian tugas saya mengedarkannya, perlu sebuah kata : integritas. Integritas untuk bekerja menyampaikan berita, yang tidak sekedar kumpulan isu, atau kutipan-kutipan belaka.

Maka di hari-hari banyaknya berita berseliweran di media sosial, berbagi tautan sembarang tanpa latar belakang : saya teringat majalah D&R dan teman-teman di dalamnya. Walau dulu kami kecil, tapi kami tak hanya media yang bisa "ngepas-ngepasin" dan "ngipas-ngipasin".

Setidaknya itu menurut saya : mantan tukang packing dan tukang kirim majalah DR, TEMPO 1997-2002

*)Ditulis dengan segala hormat untuk almarhum YD, ZL dan senior-senior lain yang tak bisa saya sebut namanya satu persatu.

Kebiasaan, 24 November 2014

"...anda tidak mampu membeli rumah impian anda. Itulah mengapa disebut rumah impian. Jadi temukan cara untuk mendapatkannya (Anda akan mendapatkan caranya), atau puaskan diri anda dengan ketidakpuasan..." (Whatever you think, think the opposite, Hal : 29, Paul Arden 2006).
Kutipan ini yang menjadi ide untuk Sharing Session di BHR Agency pagi ini. Dari beberapa bacaan dan apa yang saya alami dalam hidup, KEBISAAN banyak dibentuk oleh KEBIASAAN.

Setiap pagi kita menyampaikan satu keluhan kecil, diulang-ulang, kemungkinan besar kita menjadi manusia pesimis kerdil.

Setiap pagi kita menyebarkan satu kebencian kecil, diulang-ulang, kemungkinan besar kita menjadi penghasut hebat.

Sementara itu, bila ...
Setiap pagi kita menyebarkan satu optimisme, diulang-ulang, kemungkinan besar kita bisa sukses bersama orang-orang di sekeliling kita.

Mungkin, apapun cita-cita atau mimpimu, masuk surga sekalipun : BISA dicapai tergantung dari berbagai KEBIASAAN kecil yang diulang-ulang. Pilihan kebiasaan itu, ada di tangan anda.

The Future, 24 November 2014

“Would you like to know your future? If your answer is yes, think again. Not knowing is the greatest life motivator.

So enjoy, endure, survive each moment as it comes to you in its proper sequence -- a surprise.” -- Cuma mengutip saat kesasar mencari secangkir kopi, waktu itu

Diaval, 25 November 2014

DIAVAL. Seekor burung gagak terperangkap di jaring yang dipasang petani. Burung berbulu gelap ini, umurnya, hanya tinggal sejengkal dari maut. Petani yang marah, menghampiri dengan sepotong besi pemukul di tangannya. Siap membunuh. Gagak menggelepar tak berdaya.

Hingga lewat di balik semak gandum, seorang ratu perkasa yang sedang patah hatinya. Semalam seorang sahabat memotong sayap simbol keperkasaannya, sayap kebanggaannya. "Berubahlah menjadi manusia," demikian bisik sang ratu membaca mantra.

Serta merta gagak itu kehilangan sayap menjelma tangan, paruh berubah jadi mulut. Tubuh membesar merupa manusia. Petani takjub, takut dan memilih kabur menyelamatkan diri.
Burung gagak, yang sudah menjadi seorang pemuda, lumayan ganteng, bersungut tak enak pada sang ratu, wanita dengan tanduk. Maleficent. "Kenapa kau ubah bentuk buluku yang halus, paruhku yang cantik dengan bentuk tubuh seperti ini, menjadi manusia,". Mukanya masam.

Sang ratu dengan kalem bertanya, siapa namamu?. "Diaval", jawabnya.

"Diaval, berhentilah mengeluh. Aku telah menolongmu,".

Tukang roti langganan kedengaran lewat di depan rumah. Anakku yang sedang santai pagi ini menonton Maleficent di depan tivi -karena sekolah libur- bergegas mengejarnya. Aku sendiri sedang asyik di jejaring sosial, gembira membaca liniwaktu : belakangan ini makin banyak yang tiba-tiba peduli pada "orang kecil". Foto-foto narsis mulai berkurang, berganti berbagai dalil dan tautan. Yang kelihatan cocok, yang kelihatan benar dan yang kelihatan menguntungkan.

Minum secangkir teh - sambil menghitung uang pembayaran gaji karyawan-karyawanku nanti siang- saya membayangkan Diaval, burung gagak yang bersungut ketika diselamatkan.

Orang Kecil, 27 November 2014

ORANG KECIL. Perkenalkan pak Slamet. Beliau chef penghidang makan siangku kemarin. Soal nama "Slamet" saya tak tahu, itu nama keren atau nama sebenarnya. Bilapun itu nama keren dan bukan nama asli, setidaknya dia jujur soal asal muasalnya : Wonogiri. Dari survey pada pedagang bakso yang acap saya lakukan, kebanyakan mengaku berasal dari Solo, padahal Wonogiri sebenarnya. Entah kenapa. Di pujasera kompleks Gedung Departemen Perdagangan dia berdagang, bersama istri satu-satunya.

Mungkin karena arus informasi, globalisasi dan pengaruh MEA 2015, dia menghidangkan soto mie bogor bercita rasa soto banyumas komplit dengan ketupat dan taburan kacang tanah goreng. Enak.

Kemarin, untuk ke sekian, saya makan di bangku sederhans depan rombongnya. Ngobrol kiri kanan hingga tiba saat membayar. Satu porsi dengan teh botol, Rp 18.000. Dua minggu lalu masih Rp 15.000,-. Jawabannya sederhana, dan pasti anda jago menebaknya : semua naik bos....Saat saya tanya apakah pelanggannya marah-marah, merusak rombong atau mencaci maki "kebijakannya"? Dia bilang : tidak.

Pak Slamet adalah orang yang biasa disebut orang kecil.Pak Slamet sebagai orang kecil, yang dijadikan alasan "perjuangan" sesungguhnya manusia cinta damai. Dia tidak marah-marah di tengah pasar, merusak, menghujat menghadapi kenyataan. Dia menaikkan harga jual, dan bertahan hidup lebih karena memang itu yang dia bisa lakukan. Saya musti belajar ilmu bertahan ala pak Slamet ini...dan pak Slamet-pak Slamet lainnya.

Dia tahu, setiap masalah datang pasti satu paket dengan penyelesainnya.

Pak Slamet adalah orang yang biasa disebut orang kecil. Disebut orang kecil tentu oleh orang besar, atau orang yang merasa lebih besar. Besar ukuran tubuh, besar peranan hidup dan paling sering oleh orang yang besar omongan serta teriakan daripada hasil karyanya.

Betty pada Wilma, 27 November 2014

"Kamu bukan sial, kamu hanya kurang beruntung. Sedikit lagi kamu berusaha, kamu akan beruntung", Betty O'Shane -waiter Burger King- pada Wilma.

(The Flinstones In Viva Rock Vegas)

Taklimat Jumat, 28 November 2014

TAKLIMAT JUMAT. Karena ini hari Jumat, manikmati libur di rumah pasti nikmat. Jangan lupa terus berhemat, minum jus tomat sambil berbagi kiat-kiat.

Janganlah lupa, ini hari Jumat, kita sudah dimodali otak yang terdiri 100 juta neuron syaraf. Kabarnya, kapasitas penyimpanan data di otak 35 milyar gigabyte, atau setara 7 Milyar keping DVD. Masih susah mikir ?

Janganlah lupa, ini hari Jumat, kita sudah dimodali paru-paru dengan 2400 km jalan udara serta kantung udara seluas setengah lapangan tenis. Masih "sesak napas"?
Janganlah lupa, ini hari Jumat, kita sudah dimodali 96.000 km pembuluh darah, yang mengedarkan darah dengan kecepatan 28 cm per detik. Masih malas kerja giat ?


Hari gini, Mau usaha masih nunggu modal dari pak Camat ? Maka sudah sepatutnya hari Jumat kita buang rasa ngantuk dan kebiasaan mengeluh serta menghujat, buka lapak dan terus bershalawat. Sambil mengingat, nanti sore mungkin sudah kiamat.

Selamat.

Es Doger pak Usup, 30 November 2014

"Mulai musim hujan begini, dagang es gimana pak...".
" Dari saya lahir, musim hujan sudah ada. Saya dagang es ini satu-satunya yang saya bisa. Mosok saya musti marah sama Tuhan gara-gara hujan dan dagangan saya nggak laku. Besok kan ada musim panas lagi".

** Pak Usup, Filsuf bijak yang menyamar jadi pedagang es Doger di depan kantor Catatan Sipil Bogor.

Kota Malang. 4 November 2014

Kami datang dari kota Bogor ke kota Malang. Di kota Malang ada Jalan Bogor, tapi tak ada Jalan Malang di kota Bogor. Sebaliknya, Di kota Bogor ada Baso Malang, tapi di kota Malang tak ada Baso Bogor. Maka jelas sudah kota Bogor bukan kota Malang, demikian juga kota Malang, bukan kota Bogor.

Reuni. 16 November 2014

REUNI. Baru saja reuni selesai, riuh rendah seperti biasa. Yang dulu kurus, kini gemuk. Yang dulu muda, kini kelihatan tua (walau kami berusaha kuat menutupinya). Yang dulu susah hidupnya, kini agak lumayan wangi bau parfumnya. Tapi itulah indahnya hidup, setiap perjuangan pasti ada penghargaannya.

Bahkan kami yang dulu bodoh, dengan nilai Pengantar Statistik mendekati ambang batas keselamatan naik kelas, bisa menikmati indahnya bertemu teman-teman hari ini. Tanpa beban, tanpa galau. Kami bercerita soal kegetiran masa lalu, sambil mengudap nikmatnya masa kini. Sebuah perhelatan untuk menyongsong masa depan. 

Tak ada risau, tak ada minder : karena toh akar kita sama.

Tapi bukan itu silaturahmi saja yang penting dari sebuah kehadiran reuni. Penghargaan pada teman-teman yang sudah berkorban waktu serta tenaga untuk menyelenggarakannya, sukarela menjadi panitia, perlu juga dirayakan. Mereka seperti orang-orang yang memanggul tandu jenazah saat nanti kita tiada.

Kawan-kawan, terimakasih.

Harga Bensin dan Pilihan Kita. 18 November 2014

HARGA BENSIN PREMIUM DAN PILIHAN KITA. Lihatlah kesibukan tadi malam, ketika jalanan tiba-tiba macet karena terbentuk banyak antrian. Lihatlah keriuhan di sosial media pagi ini dan tadi malam, karena sebuah pengumuman. Harga bensin premium naik.

Bukankah, harga bensin premium naik karena pilihan kita sendiri ?

Kita memilih mengeluarkan Rp 100 ribu per hari, dari Bogor menuju kantor di Jakarta, ketimbang "sedikit" bersesak di KRL dengan Rp 10 ribu pulang pergi? Dan pilihan itu yang membuat berbarisnya fortuner, innova, avanza dan aneka mobil kilap lainnya melahap bensin premium -tanpa malu- dan bersesak di jalanan ibukota.

Dan karena pilihanmu, kereta listrik harus terus disusui dengan subsidi, karena engkau tak mau ikut "membiayai" orang miskin yang naik bersamamu.

Kita memlilih mengendarai mobil kita sendiri, sambil meminta sopir mengantar anak sekolah dan istri belanja dengan mobil kita yang lain. Sehingga jalan depan sekolah anakmu, menjadi ikut sesak dan macet karena mobil tak kebagian parkir, terpaksa parkir di pinggir jalan raya.
Karena istrimu pergi berbelanja memakai mobil yang bagus catnya, sungguh aib bila perginya ke pasar becek tradisional, bagaimana nanti kalau lecet catnya. Belum lagi gerahnya. Pergilah ke mall, belanjalah di hypermarket. Lupakan tukang cabe atau pedagang beras yang sedikit-sedikit kehilangan pembeli.

Dan karena pilihanmu, lalu kamu bilang di media-media, orang kecil- para tukang beras dan tukang cabe - makin sengsara.

Karena pilihan kita memakai mobil dan motor kita sendiri, maka sopir angkot sedikit-sedikit kehilangan penumpangnya. Dia perlu waktu "ngetem" sangat lama, dia "ngetem" di samping mobilmu yang diparkir di jalan raya depan sekolah anakmu : jalanan makin sesak. Pilihanmu ini membuat sopir angkot sulit mengejar setoran, jumlah rit sehari makin sedikit dan terpaksa menghidupi mobilnya dengan onderdil KW3.

Dan karena pilihanmu, kamu mengeluh angkot yang berkeliaran bobrok dan tak manusiawi.
Maka pilihanmu pula yang membuat jarak dari Monas ke Senayan yang hanya sepenggalan penggaris : menghisap berliter-liter bensin premium mobil dan motormu. Menkonversinya menjadi gas pembunuh dan pencipta udara gerah di Jakarta ini.

Pilihanmu juga untuk menghemat kekuatan urat kaki, memakai motor matic ke minimarket depan kompleks rumah, yang -padahal- bau keringat kasirnya saja tercium dari pintu garasimu.

Maka, bensin premium naik ini adalah konsekuensi tak langsung dari pilihanmu, pilihanmu pula yang membuat pedagang di pasar menjerit kehilangan pembeli, puncak makin macet-kebutuhan bensin premium tukang angkut sayur makin banyak dan sayur yang kau beli makin mahal. Pilihanmu yang membuat harga barang melonjak tinggi, karena truk pembawa kebutuhanmu terjebak di tol diantara mobil-mobil bagusmu yang makin hari bertambah banyak. Pilihanmu pula yang membuat angkot kehilangan penumpang dan makin sering mogok karena onderdil KW3.

Maka, bila hari-hari ini kita masih bertengkar soal siapa pantas jadi presiden, dia atau kamu, percuma saja. Bensin premium tetap naik, hari ini atau lusa.

Kartu Terkuat, 3 Desember 2014

...kartu terkuat, adalah kartu yang tidak kau mainkan. Sementara kau sibuk melihat kartu yang berserak, membicarakan headline koran-koran dan berbagi tautan-tautan (kosong, bahkan sebagian hanya fitnah) di dunia maya : hidupmu sedang dikendaikan oleh empat lembar kartu As. Yang tersembunyi, tak dimainkan.

Demikian kata orang.

Mengapa Hidup Terlalu Serius ? 4 Desember 2014

Mengapa hidup menjadi terlalu serius? Bila panas menepilah, bila hujan cukuplah berteduh. Bila waktunya tiba, pulanglah. Dengan lapang.

Hidup Ibarat Pinjam Sepeda, 7 Desember 2014

...hidup kita ini ibarat pinjam sepeda onthel jam-jaman. Tadi malam waktu mau berangkat tidur, kita titipkan nyawa di lapangan parkir, yang mungkin dijaga malaikat. Dan saat kita bangun paginya, sepeda...eh, nyawa itu dipinjamkan lagi ke kita. Komplit dengan setang, pedal...eh, ingatan atas masa lalu dan harapan-harapan.

Semua sama, nggak ada yang lebih nggak ada yang kurang. Cuma penyewa sepeda jam-jaman. Sepeda itu nyawamu, harta itu asesori hidupmu.

Bila pas sepeda yang dipakai tetangga lebih bagus dan lebih banyak asesorinya dibanding yang kita pakai, kita tinggal "ndeprok", sedheku, nadahin tangan ke Sang Empunya. Mohon sepeda kita dibagusin. Kalau Sang Empunya merasa kita cukup "eligible" terima tambahan asesoris, yang mungkin segera dikasih. Kalau enggak ya mungkin lain waktu dikasih. Usaha terus, ndeprok sedheku terus jangan capek. Harus percaya juga, nanti lapangan parkir terakhir, sepeda kita bisa diganti Kawasaki Ninja atau Harley Davidson. 

Jangan hanya pengan-pengen, nganan-ngiri...

*Kata ustadz asli nDemak ceramah di mBogor, tadi pagi.