Tuesday, July 28, 2015

Rumah Masa Kecil - 15 Juli 2015


Rumah masa kecil. Di rumah ini hanya ada 1 kamar untuk bapak dan ibu. Kami empat bersaudara -laki laki semua- terbiasa tidur di mana saja memilih sudut nyaman di rumah ini. Tapi kini, kami memiliki rumah kami sendiri dan kamar untuk anak-anak kami.

Tak ada garasi, lha kami dulu tak punya mobil. Tapi kini, kami semua -alhamdulillah- hidup sebagai kalangan menengah di ibukota negeri yang bisa mudik dengan kendaraan roda empat.

Setiap hari, kami berempat bergiliran menimba air dari sumur besar di samping rumah. Untuk mengisi bak mandi, minum dan berbasuh wudhu sebelum sembahyang. Walau hidup sulit, tiap kena udara dingin selalu biduren karena kata dokter kurang kalsium, tapi selebihnya kami sehat. Lepas SMA satu demi satu dari kami pergi merantau menemukan jodoh dan peruntungan kami sendiri-sendiri : terutama mimpi memiliki kamar mandi yang bak mandinya tak perlu ditimba airnya untuk mengisi.

Di rumah ini tak ada meja makan, hanya ada sebuah lemari makan kayu yang masih ada hingga kini. Kami selalu berhitung atas jatah perkedel, tempe goreng dan kerupuk supaya semua kebagian. Sama seperti tidur, saat makan kami juga tinggal memilih sudut yang nyaman untuk menyendok nasi.

Di rumah ini, aku bangga memiliki ibu dan bapak yang luar biasa berani. Berjuang membesarkan empat orang anak lelaki : tanpa harta yang berlebih, tanpa kemanjaan metropolis dan kepemilikan-kepemilikan semu.

Kami bangga pada Bapak dan Ibu, karena mereka telah membentuk kami seperti ini. Empat lelaki yang pergi dari kampungnya hanya membawa satu tas baju dengan semangat membara.

Kami pergi dari rumah ini, Karena yakin impian esok hari layak diperjuangkan. Kami pergi, karena kami ingin selalu kangen pada rumah ini.

Rumah tanpa kamar dan meja makan luksuri.

Masa Kecil yang Letih - 18 Juli 2015

Masa kecil yang letih. Ini adalah SD tempatku menghabiskan sebagian masa kecil. Bangunannya sudah jauh lebih keren dibandingkan jaman aku bersekolah disini, 30 tahun lalu.

Dulu, saat "menginjak" kelas 2,3 dan 4 kami harus masuk siang, karena ruangannya harus bergantian. Masuk jam 13 siang, kami dengan semangat sudah ada di sekolah pukul 11. Para laki-laki akan "stand by" di halaman pabrik kacang seberang sekolah ini. Halaman yang naik turun tak rata adalah semacam Gelora Bung Karno dengan bola plastik yang sudah ditambal selotip di sana sini. Kami lepas baju, sebagian berkaos kutang dan sebagian telanjang dada, kami berlaga bak Lionel Messi atau Ronaldo. Jangan bayangkan bau keringat kami saat bel masuk kelas berbunyi. Jaman itu, deodoran adalah keniscayaan.

Kami mencatat pelajaran dalam satu dua buku yang sama, untuk berhemat. Sampul bukunya berwarna biru tekstur kasar, plus label nama dengan logo bergambar banteng di pojoknya. Buku garis-garis yang memaksa tulisan genre cakar ayam kami berada di jalan yang benar.

Bila bel besi dipukul tanda istirahat berbunyi, maka kami akan memastikan berada di garis depan lapak mbok bon : bukan mau jajan, hanya untuk melihat siapa teman yang beruntung bisa jajan hari itu. Lalu kami merayunya, minta sedikit bagian dari keberuntungannya itu. Bisa es mambo atau bakwan disiram kuah kacang yang entah sudah diencerkan berapa kali.

Pulang sekolah adalah saat yang dinanti. Kami bergegas pulang, menyiapkan sepeda. Sore adalah saat indah untuk pit-pitan, alias keliling kampung pakai sepeda. Bila kini ada "Bike to Work", maka mungkin bila ditelusuri, kamilah pelopornya *sombong dikit*. Tak cukup berkeliling kampung, kami pit-pitan hingga ke pelabuhan. Sepedaan melewati jalan raya adalah bentuk kesombongan lain kami, anak-anak kampung. Walau kadang resiko disetrap di rumah, makan tanpa dibagi lauk, harus kami terima bila masuk ke rumah selewat maghrib.

Apakah hidup kami selesai saat maghrib tiba?. Tidak. Sehabis mandi, menggosok daki dan membuang bau keringat, kami berkumpul di rumah Haji Masduki dan sebagian di Masjid Al Mustaqim. Mengaji. Memakai sarung ala Ninja, atau saling sabet dengan sarung adalah keriaan tersendiri. Ini juga permainan beresiko, bila ketahuan pak Haji Masduki. Maka jari kami akan bilur biru dihantam tongkat rotan yang dipakainya mengajar ngaji.

Malam, lepas isya bila bulan bersinar penuh, kami akhiri hari dengan permainan tungpet (petak umpet) atau tongyak (kejar-kejaran). Menyisakan lagi keringat bau kecut sebelum kami berkemul sarung, bertebaran tidur melingkar di sudut-sudut rumah yang tak ada kamar.

Kami dulu tak punya tab atau ipad, tak kenal playsration atau X Box. Kami dulu adalah generasi yang berkeringat, generasi yang letih.

Letih dalam kegembiraan bermain. Tanpa beban, hanya gembira. Itu saja.

Berbisnis dengan Cinta - 18 Juli 2015

Berbisnis dengan cinta. Namanya bu Supardi, itu ikut nama suaminya. Tapi di Pasar Petarukan -Pemalang, namanya ngetop dengan bu Bajul : sesuai "nickname" suaminya.

Kiosnya hanya sepetak kecil, yang diperjuangkannya dengan hidangan super sederhana : tahu campur. Ramuannya hanya tahu dipotong, lontong, potongan kecil kol dan sejumput tauge mentah. Tapi entah kenapa, sejak kenal menu "creme de la creme" ini 30 tahun lalu, sejak makan hanya bisa kalau dibayari orang tua, hingga bisa membayar untuk anak istri : saya merasa harus mampir dan mampir lagi.

Pak dan bu Bajul sudah berdagang menu sophisticated ini sejak 1970 an, jauh sebelum ibu saya menikah bahkan. Di tempat yang sama, dengan passion yang sama. Dan hafal walau kami datang paling setahun sekali.

Maka inilah berbisnis dengan cinta, dengan cobek dan ulekan yang sama. Tak ada gincu-gincu polesan, semua apa adanya. Tak ada yang dipamerkan, apalagi dengan selubung-selubung "kerendahan hati" yang sebenarnya untuk meninggikan mutu.

Maka, mungkin inilah resep yang membuat saya, dan mungkin ribuan pelanggan pak dan bu Bajul ber-rendevouz di kios kecil, sumuk dan begitu-begitu saja. Lagi dan lagi.

Maka, itulah mudik. Untuk diingatkan agar kepala harus lebih banyak menunduk.

Tidak sombong, tidak pongah. Apa adanya.

Cerita tadi malam - 20 Juli 2015

Cerita tadi malam, cerita tigapuluh tahun lalu. Maka, inilah kami, "laskar pelangi" SD Wonodri 3 Semarang. SD kecil -dengan hanya 3 ruang kelas yang dipakai bergantian- di seberang pabrik kacang dan sumur bong. Ya, sumur lebar yang memenuhi hajad ber-air kampung Wonodri.

Begitu saja kami bertemu, ngobrol hingga dini hari. Berbicara soal tugas mengambil kapur tulis di ruang guru, kisah para teman : si upik yang jadi abu dan si abu yang jadi upik. Kami mengenang masjid tempat kami mengaji, para khotib yang dulu kami mintai tanda tangan di buku catatan khotbah sholat Jumat. Kami berbicara dan tertawa mengenang masa kecil dilempar penghapus papan tulis karena berisik atau mengantuk di kelas.

Kisah-kisah anak yang dulu tak tahu masa depannya akan menjadi apa. Hingga datang tadi malam, dari timur dan barat kami bertemu berbicara nasib teman -teman yang kini menjadi penjaja baso penjaga toko kain, manajer isi ulang gas elpiji, tukang tambal ban dan tentu saja pegawai negeri. Sebagian teman malah sudah lebih dulu menghadap Yang Kuasa.

Tadi malam, kami bercanda mengingat celana seragam yang kerap robek karena ulah tak bisa diam kami.
Bukan sibuk membanggakan merk celana yang kini kami miliki.

Jalan (memutar) yang Lengang

Jalan (memutar) yang lengang. Alhamdulillah, perjalanan pulang ke asal sudah selesai. Berangkat ke Semarang minggu lalu hanya perlu 7.5 jam (disaat beberapa teman perlu waktu hingga 24 jam !).

Tadi pulang ke Bogor hanya perlu (waktu bersih, setelah dipotong tiga kali istirahat dan menikmati nanas tuwel yang manis dan super murah) sebelas jam saja. Bila teman-teman terjebak macet di jalur pantura, alhamdulillah kami tidak.

Kami mengambil rute memutar yang lengang, lebih panjang 70 km dari jalur biasa, melintasi jalan mulus, sepi di pinggang gunung Slamet. Melewati daerah wisata Moga dan Guci di Tegal.
Hidup juga kadang begitu, bila tak mau "gerah berdesakan" kadang kita harus mau belajar mencari rute-rute baru, berputar lebih jauh namun lengang.

Kesasar sedikit juga tak apa.

Mudik

Pelajaran penting dari Mudik kemarin adalah : TUJUAN harus DITETAPKAN, namun JALAN menuju tujuan bisa kita PILIH.

Diskusi

Bilamanakah ini disebut sebuah diskusi : Bila yang bertanya hanya sibuk mempertahankan pertanyaan tanpa sebenar-benarnya mencari jawaban atas pertanyaannya. Serta yang menjawab hanya menjawab untuk menunjukkan dirinya benar, menggalang dukungan atas jawaban benarnya dan tak benar-benar serius mencari dalil atas jawabannya.

"...Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan dengan menyiramkannya ke muka...- Mas Ali pada Moek" ( Kambing dan Hujan, Mahfud Ikhwan-Hal. 167).

Kambing dan Hujan

Kambing dan Hujan. Selalu menyenangkan menemukan buku, apalagi ini roman, yang melemparkan pada ingatan masa kecil. Cukup dua hari, di sela pekerjaan, untuk mengganyang isi buku ini.

"Perbedaan" utara dan selatan, seperti memaksa saya mengingat kembali Masjid lor di Bondalem dan Masjid kidul -kami dulu menyebutnya- masjid PAYM (karena berada satu kompleks dengan Panti Asuhan, SD dan RS Roemani milik Muhammadiyah).

Saya kecil mengaji, belajar sembahyang di masjid lor. Keseharian sembahyang (maaf, istilah sholat baru dipakai setelah saya berada di bogor. Orang kampung saya -dulu- menyebut sholat dengan sembahyang) berjamaah, jujur saja bukan karena mengejar pahala berlipat, tapi karena seru saja sembahyang ramai-ramai dan boleh berteriak "Amiiiiiiiiin" sekencangnya tanpa takut ketahuan. Betapa tak asyik sembahyang sendiri, karena tak bisa ber-amin ramai ramai. Sembahyang bersarung pun bukan karena ingin disebut islami, jaman itu memakai celana panjang adalah kemewahan. Celana yang kami pakai adalah celana pendek untuk "dolan" bahkan kadang sekolah. Sarung kami simpan di dalam bedug.

Masjid lor mengajarkan kami membaca qunut saat sembahyang subuh, masjid kidul tidak. Kami, anak-anak kecil, yang menganggap masjid lebih sebagai tempat hang out tak mempermasalahkan itu, malah kadang kami menukar "berqunut" sebagai ekspresi kenakalan. Di masjid lor, ketika orang-orang tua di barisan shaf depan sedang membaca qunut, kami langsung sujud. Sebaliknya bila di masjid kidul, kami nekat berdiri membaca qunut saat yang lain sudah sujud.

Semoga sembahyang kami masa kecil masih tetap masuk hitungan amal baik oleh malaikat Rakib dan tidak keliru masuk catatan malaikat Atid. Fatal kalau keliru, soalnya masa kecil itu tak mungkin di-re run.
Novel ini, membongkar kenangan itu. Kenangan pada masjid Lor dan Masjid Kidul. Saat itu bensin murah, presidennya suka senyum di TVRI menggunting pita.

Jaman itu pakaian, postingan di fesbuk dan grup watsap belum menjadi tolok ukur kadar keislaman. Jaman yang berbeda dengan sekarang.

Tuesday, May 12, 2015

Nasehat Yasmin Mogahed - 29 Januari 2015

... Kita juga harus menyadari bahwa tak ada yang terjadi tanpa tujuan. Tak satu pun. Bahkan hati yang hancur. Bahkan penderitaan. Patah hati dan penderitaan merupakan pelajaran serta pertanda bagi kita.
Keduanya adalah peringatan bahwa ada sesuatu yang tak beres. Keduanya adalah peringatan bahwa kita harus melakukan perubahan. Sama seperti rasa terbakar memperingatkan agar kita menjauhkan dari api. Kita perlu melepaskan.

Penderitaan merupakan bentuk pelepasan paksa....

--- Yasmin Mogahed, Reclaim Your Heart, Halaman 23
Nasehat bagus untuk diri sendiri yang mudah merasa berada di zona nyaman

Puisi Adi bin Zaid - 30 Januari 2015

... Wahai orang yang mencela dan menghina orang lain,
apakah kau lepas dari ujian dan cobaan ?
atau kau punya janji kuat dari hari-hari?
engkau adalah orang bodoh dan tertipu..
Artinya : Wahai orang yang selalu menghina dan melecehkan orang lain, apakah Anda terikat janji untuk tidak terkena musibah seperti mereka? Ataukah hari-hari telah memberi jaminan untuk keselamatan Anda dari berbagai bencana dan cobaan? Lalu mengapa Anda selalu mencela?

--- Puisi Adi bin Zaid, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu al-Mubarak. (dr. 'Aidh al-Qarni, La Tahzan, Hal : 171)

Open Your Mind - 31 Januari 2015

.. Aku akan menghampiri orang yang lagi berjalan. Kalau ada yang sedang menunggu, aku juga akan menghampirinya. Aku tidak menilai orang dari penampilannya, karena banyak sekali klienku yang berpenampilan biasa-biasa saja tapi tertarik merencanakan keuangannya bersamaku. Klien-klienku tak harus orang kaya, kebanyakan justru kelompok menengah ke bawah.

Kita pasti sering mendengar pernyataan, OPEN YOUR MIND. Dalam bekerja, membuka pikiran seluas-luasnya sangat penting. Kalau belum apa-apa kita sudah picik, berfikir dalam satu dimensi, bahkan melakukan PELABELAN, kita akan sulit maju. Kalau kita terbuka dengan berbagai ide, gagasan, dan fakta, kita akan menemukan bahwa apa yang umum diketahui itu ternyata memiliki berbagai kelemahan.

--- Merry Riana, Langkah Sejuta Suluh, Hal : 167
*** Untuk Training GTS, new recruit BHR Team - 31 Januari 2015

Mengasah Kapak - 3 Februari 2015

Alkisah, hidup seorang penebang pohon handal. Hebat, dan semua orang mengakuinya. Dia masyhur hingga tiap orang mengelukannya. Dia menepuk dada, dia leluasa merendahkan dan menghina.
Satu dasawarsa kemudian, dia merasa makin tak berdaya. Jumlah pohon yang ditebangnya kini tak sampai separuh jumlah pohon yang bisa ditebangnya dulu. "Mungkin aku makin tua," begitu pikirnya.

Hingga suatu saat dia bertemu seorang tua bijaksana, yang menyuruh si penebang pohon mengasah kapaknya. Kapak tumpullah yang membuat batang pohon terasa liat tak mau ditebang.
Temukan dan bacalah buku sebagai si tua bijak, dia yang mengajarkanmu melumat ilmu, mengasah pikiran dan mengikis kepongahanmu. Tentu, makin lengkap dengan secangkir kopi hangat.

Hujan - 10 Februari 2015

Bosan juga menonton berita di TV, seolah banjir kali ini baru pertama kali terjadi. Semua orang berbicara, berpendapat, tapi minim aksi. Banjir lagi-lagi terjadi. Besok bila hujan sudah mulai reda, sampah mulai lagi dibuang ke kali dan sungai diurug untuk rumah dan tempat menginjakkan kaki. Bosan juga menonton berita TV, seolah isu mobnas adalah berita penting yang baru pertama kali terjadi, dalilnya rasa nasionalisme yang terusik. Besar sekali kabar itu mengalahkan berita BBM, KPK dan Polri. Tapi bukankah negara jiran sudah lama "menyimpan" 1400 cabang bank-nya di negeri kita-menghimpun dan memutar uang kita dalam pundi-pundi mereka. Kita menelpon memakai BTS dan pulsa yang dijual oleh Singapura : mana itu nasionalisme.
Maka para koruptor, segeralah melakukan korupsi, saat media lengah dan terbuai dengan isu yang gonta-ganti ini.
Tapi, tak bisa bosan aku mengamati Hujan. Rintikannya dari teritis atas teras, secara istiqomah menitik akhirnya melubangi batu besar di bawahnya. Bukankah itu sebenarnya yang kita tak punya, konsisten melakukan sesuatu (yang baik) tanpa terombang-ambing isu dan berita?
Pagi ini, dalam dingin, aku belajar dari hujan.

Menara kembar - 23 Februari 2015

Ibu Maria, pemandu wisata yang menemani kami berkeliling Kuala Lumpur minggu lalu, tertawa terbahak ketika salah satu dari kami bilang ingin ke Petronas untuk berfoto.
Katanya dengan logat Melayu yang kental,"Kalau bapak dan ibu ingin berfoto di Petronas, saya akan bawa bapak dan ibu ke gas station (SPBU) terdekat". dan kesampaianlah para turis-turisan ini berpose di depan gedung kembar dengan desain melingkar-lingkar : Menara Kembar (Twin Tower) KLCC, tempat Petronas berkantor pusat.
Gagasan membuat menara ini muncul dari keprihatinan Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tun Dr Mahathir Mohammad. Malaysia hanya negara kecil, penduduknya tak sampai 10% penduduk negara saudara tuanya yang sudah lebih dulu merdeka. Tidak ada apa-apanya, dan bukan siapa-siapa. Melihat Malaysia, saya seperti melihat Sumatera Barat dan Riau. Mirip.
Pak Mahathir berfikir, Malaysia bila tak punya ikon, maka akan dilupakan dunia. Malaysia harus punya ikon bila itu tak terbesar maka ikon itu harus tertinggi sedunia , demikian katanya.
Gagasan besar itu diwujudkan, dan pada 1 Maret 1993 tanah sudah mulai digali. Cesar Pelli, arsitek Amerika keturunan Argentina memeras otak, dan lahirlah sebuah desain post modern dengan "aroma" Islam. Tapi semua gagasan besar memang lahir setelah berhadapan dengan berbagai kendala, hambatan dan kesulitan. Tanah tempat gedung ini akan dibuat adalah ujung tebing berbatu keras. Namun di sudut lainnya adalah tanah labil yang -nyaris- mustahil menahan beban sebuah gedung tinggi (dan pasti berat).
Disitulah letak kekuatan kesungguhan hati. Maka Menara kembar ini lahir sebagai gedung dengan pondasi paling dalam sedunia. Menelan lebih dari 35.000 ton beton cor. Untuk menyelesaikan pondasi saja, perlu waktu 12 bulan.

Bukankah memang seperti itu, "bangunan" yang kokoh haruslah disusun dari "pondasi" yang kokoh pula? dan butuh waktu lama untuk menciptakan "pondasi" yang kokoh itu.
Berbagai tantangan mulai bermunculan, dari mulai pembiayaan (yang akhirnya melibatkan dua konsorsium dari dua negara yang berbeda untuk dua towe itu : Korea dan Jepang) hingga proses pembangunan 88 lantai yang memerlukan banyak besi itu. Alih-alih menyerah, untuk menekan biaya, bangunan ini lebih mengandalkan sususan beton daripada konstruksi besi -yang biasa dipakai untuk gedung tinggi- untuk menghemat biaya.

Bukankah memang seperti itu, untuk bisa mewujudkan gagasan besar diperlukan kreativitas yang tak sedikit? dan kreativitas itu terbetik karena adanya ilmu serta wawasan yang luas.
Menara 88 lantai sudah hampir rampung, tapi menara dua ternyata miring 25 mm dari posisi vertikal seharusnya. Sebuah upaya genting dilakukan, beberapa bagian harus dihncurkan kembali untuk meluruskannya. Dan itu jamak saja dalam sebuah usaha, tak semua bisa mulus sesuai rencana walau kita sudah menghitung dan merancangnya dengan masak. Kadang, kita harus susah payah mengulangnya dari mula.

Tepat tanggal 1 Agustus 1999 gedung ini diresmikan. Dunia memalingkan muka ke Malaysia. Menara Kembar yang dihubungkan dengan jembatan sepanjang 170 meter ini sempat menjadi Gedung tertinggi di dunia (1998-2004), dan hingga kini menjadi ikon pariwisata Malaysia. Tak lengkap ke Malaysaia bila tak berfoto dengan latar gedung ini di belakangnya.

Maka, Bukankah demikian juga dengan hidup kita. Sebuah negara kecil di seberang jendela kita mengajarkan, milikilah ikon (prestasi, ilmu, keahlian) yang bermanfaat. Niscaya dunia akan mengakui kita.

Jakarta - 2 Maret 2015

Selamat hari Senin untuk anda yang merayakannya di jalan tol, jalan biasa maupun di jalan-jalan tikus.
Ini kota makin sesak. Luasnya "hanya" 661 km2 lebih sedikit, siang hari dijejali lebih dari 13 juta hidung yang mencari napas, dengan menyeruakkan kurang lebih 26 juta motor serta 5 juta mobil untuk sekedar lewat atau ikut meramaikan parade rutin setiap hari bernama kemacetan. Hingga bahkan untuk bernafas sehat pun kita harus berusaha keras.

Kota ini adalah sebuah "akuarium" lengkap tempat hidup berbagai tipologi manusia. Dari yang beragama, merasa paling beragama hingga tak merasa tak beragama. Semua komplit bernyawa.
Pantaslah bila hidup makin sulit, walau setengah jumlah orang kaya Indonesia ada di kota ini. Bila pendapatan per kepala rata-rata per tahun adalah Rp 120 juta atau per bulannya sepuluh juta rupiah saja; maka sebenarnya statistik telah "membohongi kita". Ya, karena sebenarnya rata-rata itu tidak rata; sebagian berpendapatan lebih sedikit dari sejuta rupiah sebulannya, namun di sudut yang lain sebagian kecil mampu mencicil mobil mercy dengan gajinya.

Beban kota ini berat. Beban kota ini makin berat, karena, akhir-akhir ini, merasa harus menyekolahkan kembali wakil rakyatnya, yang tak bisa membedakan antara penyimpan daya dengan pembangkit daya.
Jakarta, selamat hari Senin untuk anda semua yang berdesakan menikmatinya

Bom Suka dan Duka - 12 Maret 2015

Lelaki itu dengan tenang menyetir mobil kijang "biasa-biasanya" mengarahkannya lobby hotel. Siang itu terik, Selasa 5 Agustus 2003 dan penjagaan sekuriti seperti hari-hari kemarin saja. Tidak ada yang istimewa.
Tepat pukul 12.45 waktu jakarta, sebuah ledakan dahsyat, meluluhlantakkan teras depan JW Marriot, hotel yang dituju kijang biasa dengan Asmar Latin Sani di dalamnya. Semua terkesiap, terkejut dan panik melanda.
Keesokan harinya semuanya menjadi bersiaga. Bersiaga penuh untuk kemudian pelan-pelan lupa, atau melupakannya.
Jumat, 17 Juli 2009 pukul 07.45 waktu Jakarta -enam tahun kemudian- saat kesiagaan itu mulai sirna, kehidupan seolah berjalan biasa-biasa : di tempat yang sama, mengalami peristiwa yang sama. Bom menghantam, meluluhlantakkan lobby dan restoran.
Saya pikir, demikian juga hidup kita. Tuhan mengingatkan kita dengan berbagai cara. Bisa menghempaskan bom berisi SUKA atau DUKA : berupa bencana, kegagalan atau bahkan kelimpahan tak terduga. Lalu setelah bom itu meledak, kita bersiaga penuh, merasa harus berubah... lalu pelan-pelan lupa atau melupakannya.
Kita bersemangat di walnya, lalu rutinitas menjadikan semua kembali biasa-biasa saja. Maka "gelisah" adalah cara menghalau perasaan nyaman.
Bencana, kegagalan itu terkadang membuat hidup kita istimewa. Kita nikmati saja dan berubah setelahnya.
-------------------------------------------------------
Disarikan dan diolah dari Buku MENJAGA API, Agung Adiprasetyo- terutama- Hal : 45-50.

ABCDE Hidup - 31 Maret 2015

"... Tahun 1905. Dia hanya mendengar dari kejauhan, bahwa ada orang hebat bernama Thomas Alva Edison. Orang cerdas yang bisa menciptakan segala alat pintar pada jaman itu. Cita-citanya hanya satu, menjadi mitra kerja Thomas Alva Edison.
Maka ditempuhlah perjalanan dari Midwest tempatnya tinggal ke West Orange di New Jersey, dengan satu-satunya baju yang dia miliki. Menumpang di sambungan kereta barang, melawan angin sepanjang 3000 km selama 24 jam. Tekadnya kuat untuk bertemu Thomas Alva. Hingga siang yang panas, dia berada di depan kantor Thomas. tentu dengan penampilan kumal ala gelandangan, staf kantor Thomas melarang anak muda ini bertemu bos-nya.
Tapi, anak muda ini berkata tegas dan lantang," Aku harus bertemu Thomas Alva Edison, karena aku akan menjadi mitra bisnisnya yang hebat". Thomas bertemu dengannya, tidak yaking melihat penampilannya dan memberinya pekerjaan sebagai ujian : sebagai tukang bersih-bersih kantor. Sebuah tugas yang dijalani anak muda ini ikhlas, karena dia tahu harus banyak belajar.
Suatu masa dua tahun kemudian. Thomas Alva Edison menemukan alat bernama Ediphone, cikal bakal perekam percakapan di masa kini. Semua sales yang bekerja untuk Thomas bilang, Ediphone adalah sebuah kesia-siaan belaka. Tak akan ada orang yang membeli. Tapi, anak muda ini, yang sudah dua tahun menjadi tukang bersih-bersih kantor berkata yakin pada Thomas bahwa dia akan membuat alat ini terjual ke seantero Amerika.
Dan benar, Edwin C Barnes, anak muda ini sukses besar menjual Ediphone dan kisah suksesnya menjadi inspirasi yang salah satunya ditulis oleh Napoleon Hill dalam buku "Think and Grow Rich".
Bukankah begitu rumus kehidupan. ABCDE : Allah (Tuhan) menciptakan B(irth) dan D(eath) lalu setelah itu E(nd). Diantara Birth (Lahir) dan Death (mati) ada C....CHOICE, atau pilihan. Pilihan untuk menemukan banyak sekali CHANCES alias kesempatan.
Maka, temukan berbagai kesempatan kita dengan pilihan yang sudah kita ambil. Jangan menggerutu, atau mengeluh.

Monyet dan Pisang - 2 April 2015

"... ada yang mengatakan pada saya cara pemburu menangkap monyet-monyet di Afrika. Cukup tempatkan pisang-pisang di dasar toples berleher sempit yang tertanam di tanah. Monyet-monyet itu akan memasukkan tangannya ke toples dan menggapai pisang tersebut. karena tidak mau melepaskannya, si monyet terjebak dengan toples di tangannya ..."

Memutuskan untuk memilih, membuka dan membaca "berita-berita buruk" berpotensi menjebak potensi baik dan hilangnya peluang. Hidup terasa buruk, susah, berat . Selamat memilih berita baik atau berita buruk.

(Buku HOW TO MOVE YOUR BANANAS, Dr Daniel Drubin, Hal : 2)

Every Man a King - 6 April 2015

"... sebagian besar orang menjalani kehidupannya terpincang-pincang dikarenakan mereka memikirkan pikiran-pikiran lemah, pikiran berpenyakit, pikiran kegagalan. Mereka berfokus pada apa yang mereka tak punya, ketimbang memanfaatkan yang telah dimiliki. Bagaimana seorang manusia bisa memiliki pribadi yang "merdeka" bila dia diperbudak oleh pikiran "aku susah dan tak beruntung" ..."

Jaman makin sulit, bagi mereka yang berfokus pada kesulitan. Berita selalu buruk, karena berita buruk itu yang mereka cari dan ingin dengar. Orang lain selalu sukses, mewah dan kaya karena itu yang sibuk mereka "intip". Sambil lupa bahwa masing-masing dari kita semua dilahirkan kaya raya.

BAB Keyakinan Negatif itu Melumpuhkan, BUKU Every Man A King, KARYA Orison Swett Marden, HAL 85-86

Smash Davidson - 8 April 2015

Joknya sudah ditambal lakban, body kit nya sudah rompal, tenaga masih ada walau kadang sering engap juga. Melihat dia, saya jadi berasa romantis terus.
Umurnya sudah sembilan tahun. Di masa merintis MISTERBLEK dia jadi tulang punggung. Bolak balik jatuh, ketabrak, menabrak dan ditabrak. Pernah ditunggangi nonstop Bogor-Cirebon. Berpuluh kali mogok kehabisan bensin, didorong. Sudahlah.
Dan dia masih bertahan, tidak ngambek saat kini MISTERBLEK sudah mampu beli motor yang lebih muda, lebih perkasa.
Kini dia jadi saksi membangun BHR, tugasnya tentu tak seberat dulu, mengantar surat atau sekedar remeh temeh seperti tarik uang di ATM atau beli makan siang.
Hidup juga begitu kan, seperti kisah Smash Davidson. Dia sekedar menjalani, tanpa mengeluh. Hanya menjalani. Bila tiba waktunya semua akan jauh lebih nikmat.
Gagal itu soal berhenti, mencabut kunci di tempat yang yang belum semestinya kita berhenti.

Filosofi Kopi - 10 April 2015

"...dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu.
Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.
Tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya..."

Filosofi Kopi, Dee, Hal : 28

Puisi Perkawinan - 10 April 2015

NOTA BENE : AKU KANGEN
Oleh : W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.

Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978

Kampas Rem - 14 April 2015

Saya taksir usianya sepantaran saya, 40 tahun. Kemarin di bengkel motor, dia datang tak lama setelah saya dengan motor hijaunya. Harga baru motor ini sekitar 200 juta rupiah. Lumayan, bahkan kalau belinya nyicil sekalipun.
Motor saya jelas kelihatan culun diparkir disamping motor 800cc ini.
Saya perhatikan om keren ini ngobrol dengan mekanik, dan mekanik ini menyebut angka 400 ribuan untuk harga kampas rem depan. Om keren ini langsung setuju, tanpa pikir panjang. Kampas rem 400ribu.
Rasa "ngiri" yang tadinya mau terbit mendadak sirna. Kampas rem motor culun saya cuma 35 ribu.
Itulah hidup. Kadang punya motor, kita mendadak pengen punya mobil. Punya rumah tipe 45, mendadak pengen rumah di cluster seluas 450 meter persegi, Punya mobil lama, mendadak pengen mobil baru : semua gara-gara melihat orang lain lebih dan lebih dari kita.
Padahal, Tuhan tahu apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Motor culun paling pas untuk kondisiku saat ini.
Tuhan akan memutuskan kapan saya pantas dan mampu membeli kampas rem 400ribu. Tugas saya : cuma berdoa dan berusaha.
Saya dekati om keren itu, saya ngobrol pengen tahu apa usaha dia.

Kepiting - 15 April 2015

"...pelelangan ikan sedang sibuk pagi itu. Angin laut membawa nelayan pulang di sebuah pesisir pinggiran Malaysia. Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Malaysia kala itu sedang blusukan ke Tempat Pelelangan ikan dekat situ.

Saat berjalan, dikeliling segenap pejabat dan ajudan, tertumbuklah dia pada pemandangan menarik, di sebuah sudut. Seorang tengkulak, menaruh sekeranjang kepiting laut -masih hidup- begitu saja tanpa mengikat satu demi satu kaki kepiting. Ditumpuk begitu saja, saling injak di dalam keranjang terbuka. Mahathir dengan heran bertanya,"Apakah tak kabur kemana-mana kepiting itu, hanya kau tumpuk tak kau ikat kakinya".

"Tidak Pak, kepiting tidak mungkin dan tak bisa lari keluar dari keranjang. Karena bila ada satu yang berusaha keluar keranjang, maka kepiting lain akan serta merta menarik ke bawah satu kepiting yang akan keluar tadi. Alhasil, tidak ada satupun kepiting yang bisa keluar dari keranjang itu,"Jawab si tengkulak.
Bukankah hidup juga begitu. Ketika kita ingin membuat perubahan, biasanya yang kita lakukan adalah mengubah kebiasaan, atau "apa-apa yang kita lakukan". Mustahil ingin mengubah hasil, tanpa mau mengubah prosesnya. Mustahil pula, mengulang sesuatu yang sama, tapi mengharapkan hasil yang berbeda.

Tapi, pendapat negatif, diberati gengsi, takut capek, "bully"-an, cercaan, penolakan adalah semacam kepiting-kepiting dalam keranjang menarik temannya yang akan melangkah keluar. Kepiting lemah, akan kembali ke keranjang. Kalah, gagal. Kembali menghadapi persoalan yang sama, sama dan sama. Hingga hidupnya berakhir di atas meja makan. Menjadi santapan.
Saya pikir, kita semua bukan kepiting. Kecuali, memang kita kadang suka mencubit.
------------------------
Disarikan dan diolah dari buku : MENJAGA API, Agung Adiprasetyo, Hal : 165-166.

Doa malam - 22 April 2015

Bilapun ada suatu malam dimana bulan tak mau bersinar, atau siang sendu sunyi tanpa matahari : itu tak akan menyusahkanku. Berbagai tahun berat telah kita lewati bersama dengan suka ria. Kebersamaan, adalah harta terindah yang kita miliki. Terimakasih telah memberikan harta terindah itu, harta yang membuatku kuat melewati berbagai badai.

Kesasar - 25 April 2015

"... tujuannya adalah tanah subur di timur nun jauh dari daratan tempat tinggalnya, menjelajahi dunia dari keingintahuannya yang tinggi. Proposalnya dibawa kemana-mana.

Setelah ditolak raja Portugis dan Inggris, pria ini akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan ratu Spanyol. Pada kemudian hari setelah menjelajahi samudra berbulan-bulan, ia mendarat di sebuah tempat.
"India!" Ia berseru kepada semua awal kapalnya. "Kita telah mendarat di India". Tapi ternyata dia mendarat di benua yang bukan menjadi harapannya. Benua yang kelak dinamakan Amerika.

Lalu dia kembali ke Spanyol, menghadap Ratu Isabel. Menjadi bahan cemoohan penjelajah lain yang merasa lebih lihai dalam menentukan rute menuju tanjung Harapan, tanah yang sudah dekat dengan India.
Tapi alih-alih dihukum karena tersasar, Pria ini, Christopher Colombus diberi penghargaan oleh raja Ferdinand dan ratu Isabel. Bahkan hingga kini namanya dikenal sebagai penemu benua Amerika.

Saat dicemooh, Columbus hanya berkata,"kalau saya tak pernah mau kesasar, kalian tak pernah menemukan jalan yang baru".
--------------
Dipersembahkan untuk teman-teman yang (sedang) lesu di hari Sabtu, lelah berfikir, bosan dan -mungkin- takut kesasar. Dikutip dari BUKU "30 Paspor di Kelas Sang Professor-Kisah Anak-anak Muda Kesasar di Empat Benua", JS Khairen, Hal vii-viii.

Kepak Sayap Jiwa - 1 Mei 2015

"...manusia memang sebuah peta. Peta kehidupan. Bisa tergulung dan tertutup, bisa terbuka. bagi yang mau menjelajah ke dalam dirinya, menjelajah ke alam sekitar dan menjelajah ke jiwa manusia-manusia lain, sungguh kekayaan yang amat mahal yang akan didapatkannya. Oleh karena itu, sebagai penghuni sebuah titik tak berarti dari peta yang amat luas itu, yang diperlukan hanya kerendahan hati ..."

Hal : 208, Epilog KEPAK SAYAP JIWA, Mustofa W Hasyim.

Membaca Orang - 11 Mei 2015

Banyak bertemu orang, maka makin banyak kesempatan buat kita "membaca" orang.
Setiap kali "membaca" orang, selalu saja ada inspirasi di sana. Dan, membagi inspirasi selalu menyenangkan, membuat awet muda dan awet tanggal muda.
Katanya...

Wednesday, February 11, 2015

ROCK BOTTOM REMAINDERS - 11 Februari 2015

Masih ingat sekumpulan artis sinetron yang didapuk menjadi penyanyi oleh Melly Goeslaw, bernama BBB. Bukan Bintang Biasa. Mungkin, satu-satunya kompetitor BBB adalah Rock Bottom Remainders. Selanjutnya saya ketik saja RBR, ribet soalnya.

Tapi RBR ini jauh lebih parah dari BBB. Kalau BBB lewat album pertama mereka, Mindsoul, sempat menjulangkan lagu Let's Dance Together, maka RBR tidak. Bila penggawang BBB adalah bintang sinetron yang enak dipandang mata, RBR dipunggawai para penulis -yang walau ngetop- nggak ada tampang seleb. Mulai dari Mark Groening si kreator Bart Simpson, Stephen King novelis spesialis kisah horor, hingga Dave Barry pemenang Pulitzer.

Saking parahnya, RBR ini disindir habis oleh Kirk Hammet (Mettalica). Bahkan Mark Groening, personilnya sendiri, bilang,"oramg-orang melempar celana dalam saat kami pentas". Hingga mereka dinobatkan sebagai pencetus aliran "hard-listening music" alias musik yang sulit dipahami.
Rock Bottom Remainders

Maka, belajar dari RBR : banyak dari kita memiliki keinginan menjadi hebat di semua bidang. Bisa meraih karir yang sukses dan memiliki bisnis sendiri yang moncer. Hingga ada motivator yang menyebut dirinya Manusia Semua Kuadran, semata untuk disebut hebat.

Namun, dalam banyak kasus, gairah untuk menguasai banyak hal itu menumbulkan konsekuensi pelakunya kecapekan sendiri, kehilangan fokus dan hidupnya tak bahagia karena selalu kehabisan waktu untuk orang tercita. Akhirnya mengeluh.

Maka seperti para personil RBR, lebih baik kita menjadi hebat di satu bidang. Bilapun menjalani hal lain, lebih untuk senang-senang. Jelas, ini lebih baik dibanding pengen dilihat hebat, tapi sebenarnya tak ada apa-apanya.

Yang ujung-ujungnya cuma mentok di ngomentarin kancing jas.

---Terinspirasi dari Buku 50 Kisah Inspirasi yang Meneguhkan Hidup, Hal : 20-21

Tuesday, February 3, 2015

Teringat Bapak, 28 Desember 2014

TERINGAT BAPAK. Mensyukuri apa yang kita miliki hari ini, adalah bahagia yang sebenarnya. Demikian nasehat Bapak yang selalu dia bisikkan kepada kami
Dulu, bila ada saat yang dinanti, adalah hari Minggu sore. Hari dimana kami komplit berkumpul sebagai keluarga. Jam tiga sore, bergiliran, kami sudah mandi. Lebih cepat dari jadwal mandi biasa pukul 4. Saya -waktu itu-biasanya sudah siap dengan sepatu boot karet warna biru, dengan baju terbaik yang dimiliki. Minggu sore, pukul 3 adalah jadwal Bapak mengajak kami, anak-anaknya, secara bergiliran diboncengkan keluar dari rumah. Ya, bergiliran karena kami empt bersaudara.
Berjalan-jalan dibonceng di sadel Honda gelatik warna biru, harta paling mewah di rumah kami.
Kami tak punya mobil. Bapak menabung keras untuk membeli motor honda kesayangannya. Bapak menolak berhutang untuk sesuatu yang luksuri, mewah. Prinsip yang beliau pegang hingga kami semua lulus kuliah dan "lepas" dari rumah kami yang bersahaja di Semarang.
Biasanya Bapak akan membonceng kami pelan ke daerah Sampangan. Di ketinggian bukit di atas kampus IKIP, kami berhenti. Kadang bila beruntung Bapak membawa bekal "roti ganjel rel", "roti" berwarna coklat, keras dan berbentuk seperti bantalan rel kerta api : yang bila kita makan, sanggup mengenyangkan perut kecil kami hingga esok hari.
Bapak biasanya mulai bertutur dan bercerita.
Bapak memulai dari cerita perjuangannya bersekolah dulu. Setiap pagi berangkat jam 3 pagi berjalan kaki menyusuri hutan dari desanya ke stasiun kereta. Menumpang kereta untuk mencapai sekolah. Berjuang untuk sebuah cita-cita, impian, keluar dari desanya yang tanahnya tandus berkapur, pergi ke kota Semarang dan menjadi pegawai negeri di sana. Bapakku orang desa, hingga saat lulus SMA, dia mendaftar ke sebuah kantor pemerintah. Saat tes, saking grogi dan mindernya, beliau hanya berdiri gemetar di depan kantor itu. Seharian berdiri tak melakukan apa-apa. Hanya berkeringat dingin.
Tapi Tuhan Maha Adil, Bapak diterima saat tes hari berikutnya.
Kemudian Bapak tak henti bercerita, sambil mengangsurkan "roti ganjel rel" yang benar-benar bikin seret tenggorokan. Di kantornya banyak orang korupsi. Para cukong tak segan mengirim kulkas (barang mewah yang tak bisa kami miliki tahun-tahun itu) hingga mobil, bila bersedia membantu memuluskan hajatnya. Tapi Bapak tak mau, Honda gelatik warna biru -yang di beli dengan susah payah tanpa mencicil dan berhutang- adalah kebanggaan dan bukti keteguhan hatinya.
Di atas bukit Sampangan itu, entah kenapa otakku begitu mudah mencerna petuah dan ceritanya. Sambil memandang sungai Banjir Kanal dari kejauhan, itulah piknik kami yang paling mewah. Hingga kini kami, anak-anaknya, mengingat piknik sederhana itu dalam kantong memori yang terbaik. Kemudian kami tumbuh besar, Bapak dengan segala kesederhaannya mengajak kami naik kereta ekonomi ke pantai di balik Alas Roban, berpetualang naik motornya ke kampung halamannya (walau sepulang dari situ, aku sakit : masuk angin).
Dengan segala kebersahajaannya, beliau ingin mengajak kami piknik, berbahagia bersama. Karena rupanya di sanalah beliau merasa kami utuh sebagai keluarga.
Hari-hari ini, aku teringat Bapak. Mengingat piknik-piknik sederhana yang digagasnya. Mengingat cara beliau membuat kami utuh sebagai keluarga. Mengingat cara beliau bertutur, bernasehat saat hati kami gembira, sehingga otak mudah mencerna. Mengingat bahwa bahagia itu sederhana.
Maka, saya mengulang lagi kata-kata Bapak, di atas Bukit Sampangan. Jangan sandarkan bahagiamu dari hanya menikmati mimpi, karena itu artinya kamu hanya perlu tidur yang panjang. Temukan bahagia dari memperjuangkan impian, cita-cita. Mungkin itu bukan lagi impianmu, tapi impian anak-anak atau cucumu. Ajak anakmu nanti duduk di luar rumah, mencium bau rumput, mendaki bukit menginjak kasarnya pasir. Berikan lecet kulit kaki karena tergesek batu, luka di tangan akibat tergores tajamnya duri. Pada hakekatnya itu adalah pelajaran hidup yang sebenarnya.
Bahagialah pada apa yang kamu miliki, bukan atas apa yang kamu belum miliki atau atas apa yang orang lain miliki.
Hari ini, aku teringat Bapak.

Pilot Bejo, 4 Januari 2015

Perihal paling mudah dalam hidup adalah membuat komentar. Komentar, bukan kritik. Karena bicara kritik musti harus ada ilmu yang cukup. Komentar cukup dilontarkan bermodal sedikit tahu. Kutip sepotong dari sana, ambil sedikit dari sini, beri sedikit opini sebagai bumbu. Biar kelihatan pas dan terkesan intelek.
Sebagai manusia yang kurang ilmu, saya bagikan saja sebuah cerpen. Cerpen yang ditulis penulis hebat tahun 2007 lalu, sudah lama. Ini cerpen, bukan komentar, apalagi kritik.
----------------------------------------------------------------
KISAH PILOT BEJO (Tulisan : Prof Budi Darma, 2007)
Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari.Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain.
Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot.Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung,” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat daripada masinis, dan masinis lebih dihargai daripada kusir, masing-masing pekerjaan juga mempunyai kelas masing-masing.
Ada kusir yang mengangkut orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh bangsawan dan khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo, juga mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang desa dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot Bejo, tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh.Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal-asalan.
Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban- korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah.
Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah. Untunglah ayahnya mau menolong, tentu saja dengan minta tolong seorang saudara jauh yang sama sekali tidak suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot, atau apa pun yang berhubungan dengan pengangkutan.
Orang ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.”Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati untuk menolak.
Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi Pilot ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali tidak cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot.Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak selamanya dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya menjadi pelayan restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi pimpinan perusahaan, tapi perusahaan siapakah yang mau mereka pimpin?
Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika maskapai penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka.Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur.
Ujian kesehatan memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi usus buntu.Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana.
Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu jam sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan pesawat dengan jelas.Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat daripada ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan di sini, karena, katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo.Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.
”Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke belakang.
Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke bandara, merasa tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data pesawat, merasa biasa mendengar penumpang memaki-maki, dan tenang-tenang saja dalam menghadapi segala macam cuaca. Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi.Tapi, mengapa manusia menciptakan kata “tapi”? Tentu saja, karena “tapi” mungkin saja datang setiap saat. Dan “tapi” ini datang ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naik-naik, mesin pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi.
Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam benar-benar pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk berhenti.Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan.“Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik.”Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir saja dia terkencing-kencing.
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.”Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak pernah menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan ini dia harus melakukan akrobat.
Kadang-kadang pesawat harus menukik dengan mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik.Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat.
Bisa saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok. Dia tahu umur pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan sudah lama tidak diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya sudah diganti, radarnya juga sudah beberapa kali melenceng.
Perasaannya sekonyong menjerit: “Awas!” Dengan kecepatan kilat pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik ke bawah, dan halilintar ganas berkelebat di atasnya.Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!”
Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan.

Bangsa yang Sibuk, 7 Januari 2015

BANGSA FESBUK YANG SIBUK. Menarik sekali belajar dari bangsa fesbuk ini. Ini bangsa yang sibuk.
Pemilihan presiden sudah kelar tiga bulan lalu, tapi segala macam tautan soal presiden yang mantan tukang meubel ini masih saja bersileweran. Ada yang menelisik latar belakang, nama bapak dan simboknya, hingga analisa-analisa pentingnya gerakan untuk segera menggulingkannya. Baru tahulah saya, presiden juga bisa dibuat guling, selain kambing dan kapuk randu.
Presiden rakyat fesbuk ini, di awal masa berkuasanya menaikkan ...eh, mencabut subsidi harga bensin rakyatnya. Rakyat yang gemar naik mobil atau motor kemana-mana, karena transportasi publik tak nyaman katanya. Motor itu juga yang dipakai kebut-kebutan anaknya, tanpa SIM tentu saja. Di hari-hari ini, baru terasa bukan bensin dibakar yang membuat panas, tapi perseteruan serta berbagai analisa soal harga bensin yang lebih membuat hati membara. Sampai-sampai ada yang sibuk memindai struk bensin dari pom bensin negeri tetangga.
Lalu tiba-tiba soal seorang menteri wanita yang nyentrik, ingin mengebom kapal-kapal ikan. Sekonyong-konyong juga bikin heboh. Dibahas dari merek rokok hingga nama anaknya yang jelita. Tentu, ada yang sibuk mematut-matut perilaku serta masa lalu sang menteri, dibandingkan masa lalu para analis yang hidupnya (seperti) paling bersih sedunia.
Belum kelar urusan menteri wanita, jatuhlah sebuah pesawat yang bosnya ada di negeri tetangga. Entah mendengar sendiri atau tidak, ramai di media dikabarkan menteri yang mengurusi pewasat udara marah-marah. Dibumbui segala macam komentar dan analisa. Tiba-tiba semua rakyat fesbuk menjadi ahli transportasi udara, hebatnya diantara para analis dan ahli itu, naik pesawat setahun sekali pun belum tentu. Sampai kagum aku dibuatnya.
Baru seminggu -sebagian- rakyat fesbuk (pura-pura) peduli dan berduka, tanpa dinyana berita harga gas naik daun di media masaa. Rakyat fesbuk yang sudah berpengalaman menjadi ahli sejarah genetika asal-usul manusia, pakar transportasi udara, pengamat dunia samudra dan perikanan kini menjelma menjadi expert gas alam dan penggunaannya.
Para ahli, analis, kritikus, komentator -hebatnya - itu itu saja orangnya. Perlu juga bertanya di mana mereka bersekolah dan berguru pada siapa, sehingga bisa pintar menguasai ilmu segala rupa. Dan asyik juga melihat mereka, memaparkan segala argumentasi (seolah-olah) pintarnya, untuk mendapat persetujuan dari kaum serta ekspert dalam golongannya. Serupa wakil rakyat jaman Orba, yang duduk rapat untuk mendapat ketuk palu dan teriakan : setujuuuuu ....
Bangga jadi bagian dari dinamika bangsa yang sibuk, bangsa fesbuk. Sibuk tak kemana-mana.

Hari Pertama Sisa Hidup, 9 Januari 2015

Ini adalah hari pertama dari sisa hidupku. Hari dimana aku harus bersyukur saat nyawa pinjaman yang semalam kutitipkan, dipinjamkan lagi kepadaku. Tak lagi masanya kusiakan umurku untuk tak menyukai orang lain, untuk kemudian kukeluhkan rasa tak suka itu pada manusia lain. Bukankah ada nasehat baik : bila kita mencintai maka cintailah seperlunya, demikian juga saat tak menyukainya. Berlebihan hanya akan menyiksa.
Ini adalah hari pertama dari sisa hidupku. Tak ada perlunya kusimpan syak pada lain manusia. Bukankah manusia tempatnya salah dan dosa? Memberi manfaat lebih berguna daripada terus-terusan hidup dibakar rasa tak suka.
Ini adalah hari pertama dari sisa hidupku. Kita semua tak tahu, sampai berapa lama masa depan itu berlaku.
Ini adalah hari pertama ...

Mengelola Harapan, 10 Januari 2015

Bila kali ini dadamu sesak karena rasa tak suka, hatimu panas karena kecewa dan pikiranmu bergolak penuh amarah : itu barangkali itu engkau sedang diajar cara baik mengelola harapan.
Yang membuat hatimu sakit, dadamu sesak serta pikiranmu penuh amarah sesungguhnya hanya dirimu sendiri. Dirimu tak sanggup mengelola harapan.
Dirimu terlalu tinggi menggantungkan harapan orang lain selalu setuju dan mengiyakan pendapatmu. Dirimu terlalu muluk mengharapkan kebaikan orang lain berada dalam standar, definisi serta kriteria normamu. Dirimu terlalu berprasangka baik, atau sebaliknya, terlalu buruk.
Semua bermuara pada keahlian kita mengelola harapan. Hati yang dingin, pikiran yang sehat berujung pada usaha untuk tidak terlalu menaruh harapan pada orang lain.
Apalagi orang yang kau kenal hanya dari tautan, berita dan kabar yang berseliweran di media sosial. Sehebat atau seburuk apapun dia kata orang

Izin Terbang, 12 Januari 2015

Ibu saya, pensiunan usia 65 tahun -alhamdulillah- sehat. Tinggal Semarang. Sulit bagi kami anak-anaknya mengajak beliau tinggal dan ikut kami ke (pinggiran) ibukota. Kesibukannya mengikuti berbagai kegiatan dari pengajian, arisan, senam-senam sehat, membuat beliau nyaman dengan hari tuanya. Mengisi TTS dan segala macam berita dari Perkawinan Raffi hingga Air Asia rajin diikutinya.
Saat ini kegiatan yang sangat ditekuninya adalah menjadi anggota tim Marawis kampung Wonodri, kampung tempat saya menghabiskan masa kecil di Semarang.
Kemarin, ibu saya menelepon menanyakan bagaimana mengurus Izin Terbang, mengingat posisinya saat ini sebagai Penerbang. Penabuh terbang

Bermain Volley, 13 Januari 2015

Membaca aneka berita hari ini, mungkin, ini ibarat bermain bola volley di masa remajaku dulu. Bola harus dilambungkan dulu dekat net, untuk kemudian di-smash. Sulit melakukan smash saat bola posisi rendah, apalagi jauh dari net. Tapi entahlah.

Mengutip AA Navis, 15 Januari 2015

" ... kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas..." Demikian kata Tuhan kepada Haji Saleh yang menggugatnya di akherat.
(Robohnya Surau Kami, AA Navis. Halaman 11, Gramedia Pustaka Utama cetakan ke delapan, 2002)

Belajar di Tangga, 21 Januari 2015

Di negeri Singa kami belajar, jika naik tangga berjalan, berdirilah di kiri bila kau tak bergegas dan biarkan sisi kanan kosong untuk orang yang bersicepat. Di negeri Gajah kami melihat ketertiban yang sama, hanya sebailknya : berdirilah di kanan, bergegaslah di kiri.
Di negeriku kami belajar, berdebat hingga bertengkarlah agar kelihatan (seolah) berada di "kanan" atau di "kiri".

Puisi Hujan untuk Negeri, 23 Januari 2015

Apa yang kau ingat dari hujan seperti pagi ini?
Negeri yang gaduh dengan seliweran pendapat dan opini
Keramaian dari komentar daring dan kabar koran hari ini
Bersusul-susul bagai rangkaian gerbong kereta api
Dari urusan minyak yang makin jinak kini
Soal kepala polisi hingga orang partai yang berteriak di depan kamera dan mikropon, lengkap dengan masker dan topi.
Adalah urusan lain, kejadian sebenarnya tak sepenuhnya seperti tautan yang kita baca dan bagi-bagi.
Siapa pula yang peduli, yang penting pas dengan situasi hati
Atau rombongan kanan kiri yang kita ikuti
Lalu liniwaktu kembali ramai
Indahnya negeri yang tak pernah sepi
Hingga lupa, bahwa orang manca lah yang menentukan hajad hidup kita sehari-hari
Dari urusan cabe, garam, pulsa telepon, bank hingga air minum yang diplastiki.
Urusan kita, adalah sulit menjadi diri sendiri.
Menurut temanku Venny ...
Pelipur lara yang cocok hanya selimut dan kopi
--------------------------------------------------
Cimahpar, saat hari hujan tak henti-henti.
* Terimakasih Venny Septianita atas ide kopi nya.

Aku Salah, 23 Januari 2015

Aku salah. Saat aku tinggalkan pekerjaanku di industri berita -koran dan majalah- sembilan tahun lalu, kukira keputusanku dulu benar : bahwa industri yang aku tinggalkan ini akan menuju titik nadir. Berita akan tetap membosankan, isinya soal berbagai peresmian dan perayaan.
Tapi aku mengaku salah. Industri ini tak kunjung kehabisan angin. Setiap hari ada saja lelucon untuk mengaburkan lelucon sebelumnya yang bahkan belum sempat aku tertawakan. Dan nyatanya lelucon model ini memang laku dijual. Hebatnya, para tokoh serta segenap narasumber itu makin kreatif saja menciptakan letupan-letupan lelucon baru.
Aku pikir, ini pula sebabnya majalah HUMOR tutup duluan. Lelucon asli kurang enak untuk dinikmati, terlalu mainstream dan tak memancing tawa.

#SaveLakban, 24 Januari 2015

Persoalan paling penting saat ini adalah mulai menyediakan lakban. Terutama bila SIM sudah kedaluarsa, atau STNK belum dibayar pajaknya.‪#‎savelakban‬

#SaveJoni, 25 Januari 2015

Melihat perkembangan akhir-akhir ini, maka pupus sudah harapan saya dan teman saya Joni Mochamad untuk menjadi calon Ketua KPK. Karena, bila kami nekat dan terpilih jadi ketua KPK, barangkali empat atau lima tahun lagi kami akan ditangkap karena pernah melarikan diri (dan ketahuan) dari kuliah pak Suprihatin tahun 1992.
Bisa jadi penangkapan itu karena ada laporan dari masyarakat bernamaSyahmin Syahmin.

Pelepasan Paksa, 29 Januari 2015

... Kita juga harus menyadari bahwa tak ada yang terjadi tanpa tujuan. Tak satu pun. Bahkan hati yang hancur. Bahkan penderitaan. Patah hati dan penderitaan merupakan pelajaran serta pertanda bagi kita.
Keduanya adalah peringatan bahwa ada sesuatu yang tak beres. Keduanya adalah peringatan bahwa kita harus melakukan perubahan. Sama seperti rasa terbakar memperingatkan agar kita menjauhkan dari api. Kita perlu melepaskan.
Penderitaan merupakan bentuk pelepasan paksa....
--- Yasmin Mogahed, Reclaim Your Heart, Halaman 23
Nasehat bagus untuk diri sendiri yang mudah merasa berada di zona nyaman

Mengutip Cerita pak Dahlan, 28 Januari 2015

Dicopas dari wall om Tomi Lebang, catatan pak Dahlan Iskan. Jalan-jalan itu untuk belajar, anggap saja beberapa foto selfie adalah sampingan. Asal nggak kebablasan, ya tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Yang penting mencari perbandingan sebagai bahan pelajaran, sebagai bahan tulisan yang tetap bernas walau ringan untuk ditelan... Ayo jalan-jalan.
-----------------------------
MENGHILANG UNTUK LEBIH BANYAK BELAJAR (Dahlan Iskan)
SALAH satu kebebasan yang saya nikmati saat ini adalah bisa kembali belajar dengan leluasa. Belajar apa saja. Dulu, saya mewajibkan diri agar setiap enam bulan sekali "belajar" ke Amerika Serikat: shopping idea, belanja ide. Itulah sebabnya mengapa perkembangan Jawa Pos di kemudian hari menjadi "sangat Amerika". Beda dengan koran-koran Jakarta saat itu yang "sangat Eropa".
Belakangan, ketika Tiongkok majunya luar biasa, saya jarang ke Amerika. Belajarnya pindah ke Tiongkok. Begitu sering saya ke negeri panda itu. Setahun bisa delapan kali. Bahkan pernah 12 kali. Jarak Tiongkok yang begitu dekat membuat saya bisa belajar lebih sering. Kalau ke Amerika shopping saya shopping idea, ke Tiongkok saya shopping spirit. Spirit ingin maju.
Di Tiongkoklah saya melihat sebuah masyarakat yang keinginan majunya begitu tinggi. Hasilnya pun nyata. Dalam sekejap Tiongkok mengalahkan Jerman. Kemudian Jepang. Dan mungkin tidak lama lagi mengalahkan biangnya: Amerika.
Sejak menjadi pejabat pemerintah tiga tahun lalu semua kenikmatan itu berakhir. Saya harus tahu diri. Menjadi pejabat tidak boleh sering-sering ke luar negeri. Biar pun ke luar negeri untuk urusan menteri dengan menggunakan uang pribadi.
Sering ke luar negeri tetaplah tidak sopan."Merdeka!" teriak saya dalam hati."Kenapa senyum-senyum sendiri?," tanya istri saya."Besok saya ke Tiongkok," jawab saya.
"Lho besok kan ke Lingga?," sergah istri saya. Menurut jadwal saya memang harus ke pulau Lingga dan pulau Singkep. Untuk menyiapkan program sosiopreuneur di lahan-lahan rusak bekas tambang timah."Ya dari Lingga kan bisa langsung ke Tiongkok. Lewat laut. Ke Singapura dulu," jawab saya. Maka hari itu, dalam empat hari, saya menjelajah tujuh kota di empat provinsi di Tiongkok. Membanding-bandingkan teknologi. Untuk mengubah tanaman kaliandra menjadi energi.
Belajar lagi. Belajar lagi.Tentu saya juga ingin tahu apa yang sedang hot dibicarakan oleh masyarakat luas di Tiongkok. Dulu, 15 tahun yang lalu, masyarakat sudah mengira Xi Jinping bakal jadi presiden suatu saat kelak. Kini, mereka bicara tentang kian kuatnya posisi Presiden Xi Jinping dalam konsolidasi kekuasaan. Lebih kuat dari posisi presiden sebelumnya, Hu Jintao. Kini "Tiongkok adalah Xi Jinping dan Xi Jinping adalah Tiongkok." Dengan demikian keputusan-keputusan politik di Tiongkok menjadi sangat efektif.
Tapi tak kalah ramainya adalah pembicaraan ringan yang satu ini: bagaimana bisa anak umur tiga tahun memenangkan acara tv "tiongkok mencari bakat" dan bagaimana bisa penyanyi berjilbab menempati urutan kelima "penyanyi yang paling digemari" di Tiongkok.Anak kecil itu, hebatnya, bisa joget apa saja. Mulai gangnam style sampai gaya robot. Bahkan bisa bicara filsafat hidup. Namanya: Zhang Junhao. Ketik saja nama itu di youtube. Akan muncul berbagai gayanya yang menggemaskan dan mengharukan.
Tapi finalis satunya, wanita 4 tahun bernama Xixi juga tidak kalah hebatnya.Ketika juri (salah satunya bintang film terkemuka Jet Li) bingung menentukan pemenangnya, dua finalis cilik itu diminta naik panggung."Kalian berdua layak maju ke grand final di Beijing. Tapi hanya satu yang harus dipilih. Bagaimana pendapatmu, Junhao?," tanya juri."Pilih saja dia," kata Junhao sambil memandang saingannya itu dengan sendu. Sendunya anak berumur tiga tahun."Kenapa?," tanya juri."Karena saya laki-laki," jawabnya.Tapi siapa pun tahu Junhao jauh lebih layak.
Juri kagum akan jiwa besarnya, tapi tetap memilihnya. Anak sopir truk dari salah satu desa di Shandong ini kelihatan sedih. Dia lantas memegang lengan Xixi. "Berusaha teruslah agar tetap dipilih," ujar Junhao merayu Xixi. Akhirnya juri menyatakan Xixi pun dapat jatah ke Beijing.Menurut sang ibu, Junhao sudah bisa berjalan saat berumur 10 bulan. Lalu, setiap ibunya senam joget di lapangan anak kecil itu ikut dan selalu meniru. Kepalanya yang digundul dan bicaranya yang lantang membuat Junhao benar-benar menggemaskan."Junhao punya keinginan apa?," tanya juri."Membagi kebahagiaan," katanya. "Setiap saya joget ibu saya tertawa. Beliau tampak bahagia. Saya ingin membagi kebahagiaan kepada siapa saja," katanya.Junhao pun laris manis. Stasiun-stasiun tv mengundangnya untuk tampil.
Termasuk tampil bersama penyanyi terpopuler no 5 di seluruh Tiongkok saat ini: Shila (西啦)。Nama lengkapnya: Shila Amzah. Umur: 24 tahun. Agama: Islam. Pakaian panggung: baju panjang dan hijab (jilbab).Shila sebenarnya penyanyi Malaysia. Tapi teman karibnya, wanita Tionghoa, berhasil merayunya untuk mengembangkan karir di Tiongkok. "Pasar musik terbesar dunia saat ini adalah Tiongkok," kata temannya itu. Shila setuju. Dia banyak menyanyikan lagu-lagu mandarin. Mengena. Suaranya yang tinggi dan fasihnya melafalkan lagu mandarin membuat Shila sangat populer. Dia pun belajar bahasa mandarin.Di negara komunis itu Shila tidak menyembunyikan kemuslimahannya. Justru lebih menjadikannya ciri khas. Waktu menyanyi di Malaysia rambut Shila masih terurai. Kini di Tiongkok dia justru berhijab. Hanya saja pakaian muslimahnya itu tidak membatasi geraknya. Jingkraknya tetap jingkrak rocker saat Shila membawakan lagu rock.
Kita pun punya calon Shila di Indonesia: Indah Nevertari. Juara Rising Star Indonesia di RCTI bulan lalu. Bukalah youtube. Lihat keduanya: bandingkan!
Lalu saya ke Spanyol. Tanpa sungkan dinilai sering ke luar negeri.Resminya untuk liburan keluarga.
Tapi sebenarnya ada agenda tersembunyi yang saya rahasiakan dari istri dan anak-menantu. Semula tujuan liburannya ke Turki dan Libanon. Gagal. Gara-gara keluarga tahu saya berniat "menyelinap" ke Damaskus, ibukota Syiria yang lagi bergolak. Jiwa kewartawanan saya menanggil. Kalau jadi ke Libanon, saya ingin menghilang satu hari ke Damaskus. Kalaupun sulit ke sana (karena lagi perang) saya akan ke Gunung Kelima yang jadi judul novelnya Paulo Coelho itu. Yakni gunung pemujaan umat nabi Elia (versi Injil) yang musryik dengan membuat patung sapi (versi Quran surat Al Baqarah).Keluarga akhirnya memilih ke Spanyol.
Agenda rahasia saya tidak beresiko: 1). melihat proyek pertama di dunia: Pembangkit Listrik Tenaga Cermin. 2). Melihat kemajuan sistem perkeretaapian di Spanyol. Ini karena saya dulu sering memberangkatkan anak-anak muda PT KAI yang dikirim Dirutnya, pak Ignasius Jonan ke Valencia untuk inspirasi pembenahan kereta api Indonesia. Karena itu saya menyelipkan nama Valencia sebagai salah satu kota tujuan liburan. Di samping Madrid, Toledo, Cordoba dan Barcelona. Alasan resminya: agar bisa nonton pertandingan liga Spanyol yang hari itu seru: Valencia lawan Real Madrid.
Tapi sebenarnya saya hanya ingin sebanyak mungkin naik kereta api. Ke semua tujuan tadi. Baik antar kota besar yang ternyata keretanya sudah berkecepatan 300 km/jam, atau antar kota kecil yang ternyata keretanya juga sudah berkecepatan 250 km/jam.Spanyol ternyata lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Juga tempat belajar yang baik.***