Masa
kecil yang letih. Ini adalah SD tempatku menghabiskan sebagian masa
kecil. Bangunannya sudah jauh lebih keren dibandingkan jaman aku
bersekolah disini, 30 tahun lalu.
Dulu, saat "menginjak" kelas
2,3 dan 4 kami harus masuk siang, karena ruangannya harus bergantian.
Masuk jam 13 siang, kami dengan semangat sudah ada di sekolah pukul 11.
Para laki-laki akan "stand by" di halaman pabrik kacang
seberang sekolah ini. Halaman yang naik turun tak rata adalah semacam
Gelora Bung Karno dengan bola plastik yang sudah ditambal selotip di
sana sini. Kami lepas baju, sebagian berkaos kutang dan sebagian
telanjang dada, kami berlaga bak Lionel Messi atau Ronaldo. Jangan
bayangkan bau keringat kami saat bel masuk kelas berbunyi. Jaman itu,
deodoran adalah keniscayaan.
Kami mencatat pelajaran dalam satu
dua buku yang sama, untuk berhemat. Sampul bukunya berwarna biru
tekstur kasar, plus label nama dengan logo bergambar banteng di
pojoknya. Buku garis-garis yang memaksa tulisan genre cakar ayam kami
berada di jalan yang benar.
Bila bel besi dipukul tanda
istirahat berbunyi, maka kami akan memastikan berada di garis depan
lapak mbok bon : bukan mau jajan, hanya untuk melihat siapa teman yang
beruntung bisa jajan hari itu. Lalu kami merayunya, minta sedikit
bagian dari keberuntungannya itu. Bisa es mambo atau bakwan disiram
kuah kacang yang entah sudah diencerkan berapa kali.
Pulang
sekolah adalah saat yang dinanti. Kami bergegas pulang, menyiapkan
sepeda. Sore adalah saat indah untuk pit-pitan, alias keliling kampung
pakai sepeda. Bila kini ada "Bike to Work", maka mungkin bila
ditelusuri, kamilah pelopornya *sombong dikit*. Tak cukup berkeliling
kampung, kami pit-pitan hingga ke pelabuhan. Sepedaan melewati jalan
raya adalah bentuk kesombongan lain kami, anak-anak kampung. Walau
kadang resiko disetrap di rumah, makan tanpa dibagi lauk, harus kami
terima bila masuk ke rumah selewat maghrib.
Apakah hidup kami
selesai saat maghrib tiba?. Tidak. Sehabis mandi, menggosok daki dan
membuang bau keringat, kami berkumpul di rumah Haji Masduki dan sebagian
di Masjid Al Mustaqim. Mengaji. Memakai sarung ala Ninja, atau saling
sabet dengan sarung adalah keriaan tersendiri. Ini juga permainan
beresiko, bila ketahuan pak Haji Masduki. Maka jari kami akan bilur biru
dihantam tongkat rotan yang dipakainya mengajar ngaji.
Malam,
lepas isya bila bulan bersinar penuh, kami akhiri hari dengan permainan
tungpet (petak umpet) atau tongyak (kejar-kejaran). Menyisakan lagi
keringat bau kecut sebelum kami berkemul sarung, bertebaran tidur
melingkar di sudut-sudut rumah yang tak ada kamar.
Kami dulu
tak punya tab atau ipad, tak kenal playsration atau X Box. Kami dulu
adalah generasi yang berkeringat, generasi yang letih.
Letih dalam kegembiraan bermain. Tanpa beban, hanya gembira. Itu saja.
No comments:
Post a Comment