Tuesday, July 28, 2015

Masa Kecil yang Letih - 18 Juli 2015

Masa kecil yang letih. Ini adalah SD tempatku menghabiskan sebagian masa kecil. Bangunannya sudah jauh lebih keren dibandingkan jaman aku bersekolah disini, 30 tahun lalu.

Dulu, saat "menginjak" kelas 2,3 dan 4 kami harus masuk siang, karena ruangannya harus bergantian. Masuk jam 13 siang, kami dengan semangat sudah ada di sekolah pukul 11. Para laki-laki akan "stand by" di halaman pabrik kacang seberang sekolah ini. Halaman yang naik turun tak rata adalah semacam Gelora Bung Karno dengan bola plastik yang sudah ditambal selotip di sana sini. Kami lepas baju, sebagian berkaos kutang dan sebagian telanjang dada, kami berlaga bak Lionel Messi atau Ronaldo. Jangan bayangkan bau keringat kami saat bel masuk kelas berbunyi. Jaman itu, deodoran adalah keniscayaan.

Kami mencatat pelajaran dalam satu dua buku yang sama, untuk berhemat. Sampul bukunya berwarna biru tekstur kasar, plus label nama dengan logo bergambar banteng di pojoknya. Buku garis-garis yang memaksa tulisan genre cakar ayam kami berada di jalan yang benar.

Bila bel besi dipukul tanda istirahat berbunyi, maka kami akan memastikan berada di garis depan lapak mbok bon : bukan mau jajan, hanya untuk melihat siapa teman yang beruntung bisa jajan hari itu. Lalu kami merayunya, minta sedikit bagian dari keberuntungannya itu. Bisa es mambo atau bakwan disiram kuah kacang yang entah sudah diencerkan berapa kali.

Pulang sekolah adalah saat yang dinanti. Kami bergegas pulang, menyiapkan sepeda. Sore adalah saat indah untuk pit-pitan, alias keliling kampung pakai sepeda. Bila kini ada "Bike to Work", maka mungkin bila ditelusuri, kamilah pelopornya *sombong dikit*. Tak cukup berkeliling kampung, kami pit-pitan hingga ke pelabuhan. Sepedaan melewati jalan raya adalah bentuk kesombongan lain kami, anak-anak kampung. Walau kadang resiko disetrap di rumah, makan tanpa dibagi lauk, harus kami terima bila masuk ke rumah selewat maghrib.

Apakah hidup kami selesai saat maghrib tiba?. Tidak. Sehabis mandi, menggosok daki dan membuang bau keringat, kami berkumpul di rumah Haji Masduki dan sebagian di Masjid Al Mustaqim. Mengaji. Memakai sarung ala Ninja, atau saling sabet dengan sarung adalah keriaan tersendiri. Ini juga permainan beresiko, bila ketahuan pak Haji Masduki. Maka jari kami akan bilur biru dihantam tongkat rotan yang dipakainya mengajar ngaji.

Malam, lepas isya bila bulan bersinar penuh, kami akhiri hari dengan permainan tungpet (petak umpet) atau tongyak (kejar-kejaran). Menyisakan lagi keringat bau kecut sebelum kami berkemul sarung, bertebaran tidur melingkar di sudut-sudut rumah yang tak ada kamar.

Kami dulu tak punya tab atau ipad, tak kenal playsration atau X Box. Kami dulu adalah generasi yang berkeringat, generasi yang letih.

Letih dalam kegembiraan bermain. Tanpa beban, hanya gembira. Itu saja.

No comments:

Post a Comment