Tuesday, September 2, 2014

PEMPEK 88 BATURAJA, 2 September 2014

PEMPEK 88 BATURAJA, 2014. Kiosnya ada di area niaga, dekat stasiun kota Baturaja-Sumatera Selatan. Dia adalah contoh bahwa kadang perubahan itu bisa kejam pada yang diam.

Saya menyinggahi "warung" pempek 88 ini tas rekomendasi seorang teman. Katanya, tekwannya super rasanya. Saya bukan penggemar tekwan, tapi belajar menyukainya, dan ternyata memang enak. Dikelola sepasang suami istri tanpa anak, dan sudah turun-temurun : reputasi pempek 88 sudah sudah tak diragukan. Mereka -suami istri- ini mengelola dan mengolah pempek serta tekwan dengan penuh cinta. Apa yang mereka jual hari ini, adalah yang mereka buat hari ini.

Tapi, menengok kembali pempek 88 beberapa bulan kemarin di tahun 2014, dia kelihatan makin renta dan tak tahan didera perubahan. Dia tua, dia tak bisa berubah dan Dia kehilangan kharismanya.

Maka saya teringat film "The Secret Life of Walter Mitty". Tokohnya, Walter Mitty yang "tenggelam" selama puluhan tahun di ruang kerjanya yang suram di kantor majalah LIFE yang nyaris tutup. Dia sering melamun berangan melakukan banyak hal menakjubkan, hingga dia DIPAKSA untuk bergerak, berpetualang bahkan melakukan petualangan yang "beyond his imagination". Dia didesak oleh situasi, hingga dia menjadi Walter yang baru. The Power of Kepepet.

Maka, belajarlah saya dari Pempek 88. Saya teringat satu perintah di kitab suci saya : bertebaranlah di muka bumi. Jadi dinamis, bergerak, jangan statis. Jangan hanya berangan atau berfantasi. Penyelesalan akan datang saat kita sudah telanjur tua dan tergilas jaman. Berani lakukan perubahan dan kadang cicipi kegagalan, dan kita akan bersyukur -karena pada akhirnya- kita akan tahu, bahwa kegagalan itu cara Tuhan membuat kita lebih pandai, lebih kuat, lebih hebat.

Di jalan Kemarung tempat Pempek 88 berada, saya jadi saksi, betapa diam menunggu perubahan itu berbuah suram. Dia ditelan perubahan itu sendiri.

Keluarlah dari sisi nyamanmu, bertebaranlah di muka bumi dan buatlah banyak perubahan. Begitu mungkin pesannya.

Photo: PEMPEK 88 BATURAJA, 2014.  Kiosnya ada di area niaga, dekat stasiun kota Baturaja-Sumatera Selatan.  Dia adalah contoh bahwa kadang perubahan itu bisa kejam pada yang diam.

Saya menyinggahi "warung" pempek 88 ini tas rekomendasi seorang teman.  Katanya, tekwannya super rasanya.  Saya bukan penggemar tekwan, tapi belajar menyukainya, dan ternyata memang enak.  Dikelola sepasang suami istri tanpa anak, dan sudah turun-temurun : reputasi pempek 88 sudah sudah tak diragukan.  Mereka -suami istri- ini mengelola dan mengolah pempek serta tekwan dengan penuh cinta.  Apa yang mereka jual hari ini, adalah yang mereka buat hari ini.

Tapi, menengok kembali pempek 88 beberapa bulan kemarin di tahun 2014, dia kelihatan makin renta dan tak tahan didera perubahan.  Dia tua, dia tak bisa berubah dan Dia kehilangan kharismanya.

Maka saya teringat film "The Secret Life of Walter Mitty".  Tokohnya, Walter Mitty yang "tenggelam" selama puluhan tahun di ruang kerjanya yang suram di kantor majalah LIFE yang nyaris tutup.  Dia sering melamun berangan melakukan banyak hal menakjubkan, hingga dia DIPAKSA untuk bergerak, berpetualang bahkan melakukan petualangan yang "beyond his imagination".  Dia didesak oleh situasi, hingga dia menjadi Walter yang baru.  The Power of Kepepet.

Maka, belajarlah saya dari Pempek 88.  Saya teringat satu perintah di kitab suci saya : bertebaranlah di muka bumi.  Jadi dinamis, bergerak,  jangan statis.  Jangan hanya berangan atau berfantasi. Penyelesalan akan datang saat kita sudah telanjur tua dan tergilas jaman.  Berani lakukan perubahan dan kadang cicipi kegagalan, dan kita akan bersyukur  -karena pada akhirnya- kita akan tahu, bahwa kegagalan itu cara Tuhan membuat kita lebih pandai, lebih kuat, lebih hebat.

Di jalan Kemarung tempat Pempek 88 berada, saya jadi saksi, betapa diam menunggu perubahan itu berbuah suram. Dia ditelan perubahan itu sendiri.  

Keluarlah dari sisi nyamanmu, bertebaranlah di muka bumi dan buatlah banyak perubahan.  Begitu mungkin pesannya.

PANDANGAN ORANG, 31 Agustus 2014

Dalam pandangan beberapa kalangan di dekat saya, saya bukanlah tipe muslim yang baik. Saya ber-kaos oblong tiap hari, bukan baju koko putih. Saya bercelana jeans, beberapa belel karena atas alasan irit celana jeans itu sudah "ikut" saya bertahun-tahun. Dahi saya tidak menghitam, dan tidak pernah sharing ayat-ayat kitab suci di media sosial. Saya tak ikutan organisasi agama, karena penampilan saya aneh di mata mereka. Saya hanya tak ingin selalu pintar menilai, mencaci dan menjadi seolah paling benar sendiri.

Tapi isi tautan yang saya share ini membuat saya yakin, apapun yang kita lakukan, untuk kebaikan manusia lain akan dihargai Tuhan. Paling tidak Rasul saya melakukannya, dan saya mengikutinya.

Saya berdagang, dan karena itu pula saya ada. Saya berdagang, saya membagi hikmahnya, sehingga saya tak perlu menghiba dan meminta. 

MAS CHOLIS MELIHAT BULAN, 30 Agustus 2014

MAS CHOLIS MELIHAT BULAN, 2014. Sore hingga malam itu, saat kami bertiga : saya, mas Cholis dan seorang teman dari penerbitan buku asyik berdiskusi, hujan deras turun. Hanya gemericik air, sesekali dentingan gelas isi jahe panas dan pecah tawa yang mengisinya. Gelap dan makin larut.

Mas Cholis, kakak kelas saya semasa kuliah, kami berselisih dua angkatan. Wajahnya bersih, saya rasakan berbeda dengan wajahnya enam atau tujuh tahun lalu saat kami pernah ketemu. Ini adalah pertemuan kami pertama, sejak masa itu.

Enam, atau barangkali tujuh tahun lalu, dia kaya raya. Usaha jasa kargonya moncer hingga ke negara tetangga. Hingga nasib menghantarkannya ke penjara, dia tertipu mitra usaha dan harus menanggung dinginnya tembok penjara.

Di penjara, dia menemukan kesadarannya. Dulu saat masih kaya, dia merasa telah memiliki segalanya. Kata mas Cholis,"Apabila kesedihan dan kesusahan adalah cobaan, maka ternyata kekayaan adalah cobaan yang sebenar-benarnya. Dengan kesulitan kita mudah sadar dan segera mengingat Tuhan, dengan kekayaan kita sulit membedakan...adakah ini memang anugerah atau cobaan".

Dia melanjutkan,"Di balik dinding penjara, saya menemukan suatu hal yang menjadi berkah luar biasa. Itu adalah kesempatan melihat bulan - di luar sana- dari balik jendela jeruji. Hal sederhana yang saya lewatkan saat masih kaya. Melihat bulan bersinar adalah kekayaan yang hakiki, kekayaan harta dunia hanya jembatan".

Kini mas Cholis sudah kembali kaya, ibarat bola karet, dia dibanting keras ke bawah dan memantul tinggi kembali jauh ke atas. Dia bercerita, omzet usaha kargonya kini hampir dua kali lipat dibandingkan sebelum dia masuk penjara. Tapi bukan itu yang membuatnya lebih kaya. Dia menemukan kesadaran bahwa : Kekayaan seharusnya adalah jembatan yang hebat untuk menggapai keberkahan di akherat.

"Bas, kamu harus kaya. Ulangi, Ulangi dan Ulangi usaha yang kamu lakukan. Kalau gagal, ulangi dengan lebih baik terus dan terus. Kalau kamu tak kaya, jembatanmu ke akhirat tak akan kokoh. Kamu harus kaya, dan jadikan orang di sekelilingmu kaya : itu jembatan kokohmu menggapai barokah", nasehatnya, saat jam dinding menggapai pukul 23.30 malam.

Tengah malam, kami bergegas menuju mobil. Hujan sudah mulai reda. Dan kami melihat bulan, malu-malu muncul di balik awan.

SEPATU UDA ZUL, 28 Agustus 2014

SEPATU UDA ZUL, PASAR ANYAR 2014. Ditukar dengan selembar uang berwarna merah, dan masih ada kembalian yang cukup untuk lima kali naik angkot. Asli buatan bogor. Dari sepatu -untuk anak saya ini - berdialog panjanglah saya dengan Uda Zul, atau Dazul untuk mudahnya, di tokonya dalam panas Pasar Anyar Bogor beberapa hari lalu.

Kami membeli sepatu dari Dazul, selain karena dia klien asuransi istri saya, juga selalu banyak cerita. Tentu orang yang banyak cerita bisa diduga kaya pengalaman hidupnya. Umur kami hampir sebaya, sehingga bahasa kami nyambung saja. Walau dia Padang, saya Jawa.

Kisahnya dimulai saat dia merantau dari kampungnya di kaki gunung singgalang duapuluh tahun lalu. Sebagaimana galibnya lelaki minang, dia merantau hanya berbekal tekad dan doa dari orang tua. Bukan Jakarta yang dituju, tapi Bali. Karena kabarnya Bali adalah tanah para dewa. Dazul ingin bertemu dewa.

Alih-alih sampai Bali, dia justru di terdampar di pulau Lombok. Dari mulai kuli bangunan, berdagang baju hingga bertemu peruntungan saat berdagang sepatu. Dazul tidur di kolong langit, di halaman ruko bahkan bangku di terminal. Pahit. Tapi disanalah dia ditempa.

Saat berdagang sepatu, dia mendengar bahwa pusat produksi sepatu "rakyat" ada di Bogor. Dia berangkat ke Bogor, bertemu tauke yang memasoknya dan memindahkan nasibnya ke kota hujan. Dia berdagang sepatu di halaman stasiun, mengumpulkan labanya dan mulai membangun kerajaan bisnisnya.

Kini, dia bercerita di hadapan saya dengan cincin berkilau, uang pertanggungan asuransi untuk keluarganya yang milyaran jumlahnya, polis investasi yang lumayan besarnya, hingga dua ruko yang kini disewakannya. Agak mengherankan buat saya melihatnya menyiapkan ini semua, bahkan teman-teman saya yang jauh lebih pintar saja tak melakukannya.

Dari Dazul saya belajar, saat dia berkata,"Saya dulu sangat sengsara, sekarang saya berjaya. Bolehlah saya berfikir, bahwa saat saya sudah tiadapun, istri dan lima anak saya tetap berjaya".

Kami janjian, pulang ke Padang tahun depan, akan konvoi pakai mobil membelah trans sumatera.

Photo: SEPATU UDA ZUL, PASAR ANYAR 2014.  Ditukar dengan selembar uang berwarna merah, dan masih ada kembalian yang cukup untuk lima kali naik angkot.  Asli buatan bogor.  Dari sepatu -untuk anak saya ini - berdialog panjanglah saya dengan Uda Zul, atau Dazul untuk mudahnya, di tokonya dalam panas Pasar Anyar Bogor beberapa hari lalu.

Kami membeli sepatu dari Dazul, selain karena dia klien asuransi istri saya, juga selalu banyak cerita.  Tentu orang yang banyak cerita bisa diduga kaya pengalaman hidupnya.  Umur kami hampir sebaya, sehingga bahasa kami nyambung saja.  Walau dia Padang, saya Jawa.

Kisahnya dimulai saat dia merantau dari kampungnya di kaki gunung singgalang duapuluh tahun lalu.  Sebagaimana galibnya lelaki minang, dia merantau hanya berbekal tekad dan doa dari orang tua.  Bukan Jakarta yang dituju, tapi Bali.  Karena kabarnya Bali adalah tanah para dewa.  Dazul ingin bertemu dewa.

Alih-alih sampai Bali, dia justru di terdampar di pulau Lombok.  Dari mulai kuli bangunan, berdagang baju hingga bertemu peruntungan saat berdagang sepatu.  Dazul tidur di kolong langit, di halaman ruko bahkan bangku di terminal.  Pahit.  Tapi disanalah dia ditempa.  

Saat berdagang sepatu, dia mendengar bahwa pusat produksi sepatu "rakyat" ada di Bogor.  Dia berangkat ke Bogor, bertemu tauke yang memasoknya dan memindahkan nasibnya ke kota hujan.  Dia berdagang sepatu di halaman stasiun, mengumpulkan labanya dan mulai membangun kerajaan bisnisnya.  

Kini, dia bercerita di hadapan saya dengan cincin berkilau, uang pertanggungan asuransi untuk keluarganya yang milyaran jumlahnya, polis investasi yang lumayan besarnya, hingga dua ruko yang kini disewakannya.  Agak mengherankan buat saya melihatnya menyiapkan ini semua, bahkan teman-teman saya yang jauh lebih pintar saja tak melakukannya.

Dari Dazul saya belajar, saat dia berkata,"Saya dulu sangat sengsara, sekarang saya berjaya.  Bolehlah saya berfikir, bahwa saat saya sudah tiadapun, istri dan lima anak saya tetap berjaya".

Kami janjian, pulang ke Padang tahun depan, akan konvoi pakai mobil membelah trans sumatera.

PURA-PURA KAYA, 26 Agustus 2014

PURA-PURA KAYA. Wajahnya memerah. Sambil bersungut-sungut dia menyumpah-menyumpah. Mulai dari Pertamina, pemilu, presiden lama, presiden baru hingga petugas pompa bensin (bersubsidi) yang dianggapnya lambat tak luput dari sumpah serapahnya. Mobil hitam, kata brosur harganya diatas Rp 300 juta keluaran tahun 2013 -setidaknya itu menurut pengetahuan umum yang bisa saya miliki : membaca arti plat nomor kendaraan - kilapnya bisa dipakai untuk berkaca. Baju rapi, dengan keliman dan jahitan mahal tak bisa menyembunyikan kemarahan karena mengantri hampir sejam lamanya.

Hari ini, di kota saya, premium langka. Dan bapak bermobil kilap bak kaca, mungkin sedang pura-pura pintar atau pura-pura kaya.

Maka, melihat antrian mengular yang tak kelihatan ujungnya, saya belokkan stang "Smash Davidson" butut saya menuju tukang bensin eceran dekat pengkolan rumah saya. Harga naik jadi delapan ribu per liter tak jadi masalah buat saya.

"Bang, tolong isi tangki motor saya. Cukup satu liter saja," kata saya. Jelas, saya tak sedang pura-pura kaya.

WINARNO alias WINCUK, 25 Agustus 2014

WINARNO alias WINCUK. Kami, teman-teman kuliahnya, sudah kesulitan melacak jejaknya paska kelulusan dan kami berpisah. Salah satu yang membuatnya "hilang", karena sakit yang memaksanya cuti setahun, dia kuliah dan lulus bersama angkatan adik kelas kami.

Winarno, atau kami biasa memanggilnya Wincuk, adalah salah satu ikon angkatan kami. Dia anak Purwokerto (seingat saya), pinter atau malah mungkin jenius terutama soal "ngoprek" program komputer, berisik dengan guyonan dan suara cempreng khasnya. Memang kepinterannya dibandingin saya sih jauh...maksudnya, Winarno jauh lebih pinter.

Dulu, dengan bangga dia memamerkan kelebihannya menderita penyakit Hepatitis versi lengkap yang oleh dokter di dekat Kampus sudah divonis umurnya tak bakal sampai wisuda. Dialah Ketua Perhimpunan Penderita Hepatitis di angkatan kami. Mengerikan. Tapi Wincuk menjadikannya guyonan yang membuat kami ingat hingga sekarang. Selepas vonis dokter, dia sudah mencatat barang-barang yang dimilikinya, termasuk jaket kebanggaan angkatan kami untuk dibagikan ke teman-temannya. Saat dirawat di ruang ICU sebuah rumah sakit di Jakarta, menjelang tengah malam dia dimarahin suster karena memaksa bangun untuk ngobrol ketika tahu kami teman-temannya datang jauh dari Bogor untuk menengoknya.

Hingga kini kami sudah berkali-kali reuni dan bersilaturahmi, tapi Wincuk tak bisa kami temukan. Dia, salah satu teman yang kami kangeni. Karena sikapnya yang apa adanya. Kabar terakhir, dia menikah dengan seorang dokter, wanita minang. Wincuk jadi urang sumando sebagaimana saya.

Bukankah memang seperti itu hakekat pertemanan. Yang mengikatkan bukanlah dengan mobil apa kita datang, tapi karena cerita yang membuat kita tertawa bareng. Cerita itu tanda kita telah berhasil melawati masa lalu yang patut dikenang, dan Tuhan memberikan banyak keajaiban yang patut kita syukuri saat kita mengingat masa lalu itu.

Bukan mobil, baju atau perhiasan yang kita rayakan. Tapi kesempatan mentertawakan masa lalulah yang patut dirayakan.

Masa lalu sudah lewat, dan sudah kita taklukan. Di setiap reuni, kami selalu diingatkan bahwa kita bekerja untuk banyak misteri serta keajaiban yang Tuhan ciptakan di masa depan. Hebat lagi, bila kita bisa menaklukan mas depan bersama, sebagaimana dulu bersama menaklukan masa lalu.

Wincuk, semoga engkau membaca tulisan ini. Kapan-kapan kita ketemu, aku mau nagih jaketmu.

BISNIS (dalam) PUSARAN DOA, 21 Agustus 2014

BISNIS (dengan) PUSARAN DOA. Sambil mengucek mata, saya pencet huruf di seluler butut warna hitam muda. Di ujung sana bertanya : saya sudah berdagang cukup lama, tapi tak ada perubahan nasib saya. Makin lama makin capek dan tersiksa.

Saya jawab : kalau begitu saya mau berbagi cerita ya...

Pak Ichsan Muhammad, mitra MISTERBLEK di Sukabumi, bisa menjual 500 sachet seminggu. Pesanan ke saya otomatis juga 500 sachet per minggu, saya dapat Rp 150 x 500 = Rp 75.000,- per minggu dari pak Ichsan.
Pak Ichsan menjual kopi MISTERBLEK dari saya, sudah diblender dan dimasukkin cup plastik, Rp 12.000,- per cup. Dia mendapat Rp 12.000 x 500 = Rp 6.000.000,- per minggu.

Adakah saya menjadi lebih kaya Rp 75.000, per minggu dan pak Ichsan menjadi lebih kaya Rp 6 juta per minggu? TIDAK. Ternyata tidak seperti itu bisnis berjalan.

Karena penjualan pak Ichsan, karyawannya mendapat upah Rp 1.000.000 per bulan, yang dari uang itu dia bisa membeli beras, lauk, kecap dan pulsa untuk seorang istri dan tiga anaknya. Dia bisa membeli bensin yang akhirnya petugas pom bensin bisa juga hidup karenanya. Dia membeli beras di pasar, sehingga pedagang beras, sopir mobil bak yang mengirim beras plus petani bisa hidup karenanya. Dan dia membayar toilet di dekat tempat dia bekerja, hingga tukang jaga toilet tersenyum dan berterimakasih karenanya.

Hingga ...

Petani berdoa untuk sopir mobil bak agar dilancarkan perjalanan membawa berasnya ke pasar. Sopir mobil bak berdoa agar pedagang beras maju berdagangnya sehingga tetap memakai jasanya. Pedagang beras berdoa untuk karyawan pak Ichsan, agar lancar kerjanya dan lancar membeli beras terus dari dia, makin banyak dan makin banyak belanjanya. Demikian juga petugas pom bensin, pengemis di perempatan dan tukang jaga toilet. Karyawan Pak Ichsan, menjadi pusat pusaran doa, dan pusaran doa itu mendorong beliau ke atas, ke atas, dan terus ke atas.

Maka bayangkan anda punya 200 pak Ichsan, dengan total 500 karyawan. Tentu akan dahsyat sekali pusaran doa itu mendorong kita ke atas.

Sehingga -menurut saya- itulah hakekat kita membangun bisnis dan bekerja. Menciptakan pusaran doa yang super besar, yang mendorong kita -pemiliknya- ke posisi naik terus ke atas.

Dorongan itu akan membentuk kekayaan tak cuma sekedar harta atau uang, tapi kesehatan, keluarga yang tentram, teman lama yang terus menghibur dan mendoakan, serta teman baru yang mencerahkan.

Itulah yang saya sebut : Ber-Bisnis, atau Bekerja (dengan) Pusaran Doa. Bangulah bisnis karena mengharapkan besarnya pusaran doa, bukan karena besarnya margin belaka. Berbagilah walaupun hanya berupa cerita lucu, tawa. Hebat lagi bila itu berupa ilmu dan harta.

Seperti yang saya share kemarin : Hidup pasti tak Lengkap, tapi semestinya kita bisa ikut Melengkapi hidup orang lain.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terinspirasi dari beberapa sahabat dan mitra : mas Ichsan Sukabumi, kangBaba Husein, pak Mistervicks Vicktor, mas Idhan Misterblek, ustadzHelfian Rusad dan banyak nama lain yang tak bisa saya sebut satu-satu

Photo: BISNIS (dengan) PUSARAN DOA. Sambil mengucek mata, saya pencet huruf di seluler butut warna hitam muda.  Di ujung sana bertanya : saya sudah berdagang cukup lama, tapi tak ada perubahan nasib saya.  Makin lama makin capek dan tersiksa.

Saya jawab : kalau begitu saya mau berbagi cerita ya...

Pak Ichsan Muhammad, mitra MISTERBLEK di Sukabumi, bisa menjual 500 sachet seminggu.  Pesanan ke saya otomatis juga 500 sachet per minggu, saya dapat Rp 150 x 500 = Rp 75.000,- per minggu dari pak Ichsan.
Pak Ichsan menjual kopi MISTERBLEK dari saya, sudah diblender dan dimasukkin cup plastik, Rp 12.000,- per cup.  Dia mendapat Rp 12.000 x  500 = Rp 6.000.000,- per minggu.

Adakah saya menjadi lebih kaya Rp 75.000, per minggu dan pak Ichsan menjadi lebih kaya Rp 6 juta per minggu?  TIDAK.  Ternyata tidak seperti itu bisnis berjalan.

Karena penjualan pak Ichsan, karyawannya mendapat upah Rp 1.000.000 per bulan, yang dari uang itu dia bisa membeli beras, lauk, kecap dan pulsa untuk seorang istri dan tiga anaknya.  Dia bisa membeli bensin yang akhirnya petugas pom bensin bisa juga hidup karenanya.  Dia membeli beras di pasar, sehingga pedagang beras, sopir mobil bak yang mengirim beras plus petani bisa hidup karenanya.  Dan dia membayar toilet di dekat tempat dia bekerja, hingga tukang jaga toilet tersenyum dan berterimakasih karenanya.

Hingga ...

Petani berdoa untuk sopir mobil bak agar dilancarkan perjalanan membawa berasnya ke pasar.  Sopir mobil bak berdoa agar pedagang beras maju berdagangnya sehingga tetap memakai jasanya. Pedagang beras berdoa untuk karyawan pak Ichsan, agar lancar kerjanya dan lancar membeli beras terus dari dia, makin banyak dan makin banyak belanjanya.  Demikian juga petugas pom bensin, pengemis di perempatan dan tukang jaga toilet.  Karyawan Pak Ichsan, menjadi pusat pusaran doa, dan pusaran doa itu mendorong beliau ke atas, ke atas, dan terus ke atas.

Maka bayangkan anda punya 200 pak Ichsan, dengan total 500 karyawan. Tentu akan dahsyat sekali pusaran doa itu mendorong kita ke atas.  

Sehingga -menurut saya- itulah hakekat kita membangun bisnis dan bekerja.  Menciptakan pusaran doa yang super besar, yang mendorong kita -pemiliknya- ke posisi naik terus ke atas.  

Dorongan itu akan membentuk kekayaan tak cuma sekedar harta atau uang, tapi kesehatan, keluarga yang tentram,  teman lama yang terus menghibur dan mendoakan, serta teman baru yang mencerahkan.
 
Itulah yang saya sebut : Ber-Bisnis, atau Bekerja (dengan) Pusaran Doa.  Bangulah bisnis karena mengharapkan besarnya pusaran doa, bukan karena besarnya margin belaka.  Berbagilah walaupun hanya berupa cerita lucu, tawa. Hebat lagi bila itu berupa ilmu dan harta.

Seperti yang saya share kemarin : Hidup pasti tak Lengkap, tapi semestinya kita bisa ikut Melengkapi hidup orang lain.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terinspirasi dari beberapa sahabat dan mitra : mas Ichsan Sukabumi, kang Baba Husein, pak Mistervicks Vicktor, mas Idhan Misterblek, ustadz Helfian Rusad dan banyak nama lain yang tak bisa saya sebut satu-satu