Tuesday, September 2, 2014

MAS CHOLIS MELIHAT BULAN, 30 Agustus 2014

MAS CHOLIS MELIHAT BULAN, 2014. Sore hingga malam itu, saat kami bertiga : saya, mas Cholis dan seorang teman dari penerbitan buku asyik berdiskusi, hujan deras turun. Hanya gemericik air, sesekali dentingan gelas isi jahe panas dan pecah tawa yang mengisinya. Gelap dan makin larut.

Mas Cholis, kakak kelas saya semasa kuliah, kami berselisih dua angkatan. Wajahnya bersih, saya rasakan berbeda dengan wajahnya enam atau tujuh tahun lalu saat kami pernah ketemu. Ini adalah pertemuan kami pertama, sejak masa itu.

Enam, atau barangkali tujuh tahun lalu, dia kaya raya. Usaha jasa kargonya moncer hingga ke negara tetangga. Hingga nasib menghantarkannya ke penjara, dia tertipu mitra usaha dan harus menanggung dinginnya tembok penjara.

Di penjara, dia menemukan kesadarannya. Dulu saat masih kaya, dia merasa telah memiliki segalanya. Kata mas Cholis,"Apabila kesedihan dan kesusahan adalah cobaan, maka ternyata kekayaan adalah cobaan yang sebenar-benarnya. Dengan kesulitan kita mudah sadar dan segera mengingat Tuhan, dengan kekayaan kita sulit membedakan...adakah ini memang anugerah atau cobaan".

Dia melanjutkan,"Di balik dinding penjara, saya menemukan suatu hal yang menjadi berkah luar biasa. Itu adalah kesempatan melihat bulan - di luar sana- dari balik jendela jeruji. Hal sederhana yang saya lewatkan saat masih kaya. Melihat bulan bersinar adalah kekayaan yang hakiki, kekayaan harta dunia hanya jembatan".

Kini mas Cholis sudah kembali kaya, ibarat bola karet, dia dibanting keras ke bawah dan memantul tinggi kembali jauh ke atas. Dia bercerita, omzet usaha kargonya kini hampir dua kali lipat dibandingkan sebelum dia masuk penjara. Tapi bukan itu yang membuatnya lebih kaya. Dia menemukan kesadaran bahwa : Kekayaan seharusnya adalah jembatan yang hebat untuk menggapai keberkahan di akherat.

"Bas, kamu harus kaya. Ulangi, Ulangi dan Ulangi usaha yang kamu lakukan. Kalau gagal, ulangi dengan lebih baik terus dan terus. Kalau kamu tak kaya, jembatanmu ke akhirat tak akan kokoh. Kamu harus kaya, dan jadikan orang di sekelilingmu kaya : itu jembatan kokohmu menggapai barokah", nasehatnya, saat jam dinding menggapai pukul 23.30 malam.

Tengah malam, kami bergegas menuju mobil. Hujan sudah mulai reda. Dan kami melihat bulan, malu-malu muncul di balik awan.

No comments:

Post a Comment