Tuesday, February 3, 2015

Teringat Bapak, 28 Desember 2014

TERINGAT BAPAK. Mensyukuri apa yang kita miliki hari ini, adalah bahagia yang sebenarnya. Demikian nasehat Bapak yang selalu dia bisikkan kepada kami
Dulu, bila ada saat yang dinanti, adalah hari Minggu sore. Hari dimana kami komplit berkumpul sebagai keluarga. Jam tiga sore, bergiliran, kami sudah mandi. Lebih cepat dari jadwal mandi biasa pukul 4. Saya -waktu itu-biasanya sudah siap dengan sepatu boot karet warna biru, dengan baju terbaik yang dimiliki. Minggu sore, pukul 3 adalah jadwal Bapak mengajak kami, anak-anaknya, secara bergiliran diboncengkan keluar dari rumah. Ya, bergiliran karena kami empt bersaudara.
Berjalan-jalan dibonceng di sadel Honda gelatik warna biru, harta paling mewah di rumah kami.
Kami tak punya mobil. Bapak menabung keras untuk membeli motor honda kesayangannya. Bapak menolak berhutang untuk sesuatu yang luksuri, mewah. Prinsip yang beliau pegang hingga kami semua lulus kuliah dan "lepas" dari rumah kami yang bersahaja di Semarang.
Biasanya Bapak akan membonceng kami pelan ke daerah Sampangan. Di ketinggian bukit di atas kampus IKIP, kami berhenti. Kadang bila beruntung Bapak membawa bekal "roti ganjel rel", "roti" berwarna coklat, keras dan berbentuk seperti bantalan rel kerta api : yang bila kita makan, sanggup mengenyangkan perut kecil kami hingga esok hari.
Bapak biasanya mulai bertutur dan bercerita.
Bapak memulai dari cerita perjuangannya bersekolah dulu. Setiap pagi berangkat jam 3 pagi berjalan kaki menyusuri hutan dari desanya ke stasiun kereta. Menumpang kereta untuk mencapai sekolah. Berjuang untuk sebuah cita-cita, impian, keluar dari desanya yang tanahnya tandus berkapur, pergi ke kota Semarang dan menjadi pegawai negeri di sana. Bapakku orang desa, hingga saat lulus SMA, dia mendaftar ke sebuah kantor pemerintah. Saat tes, saking grogi dan mindernya, beliau hanya berdiri gemetar di depan kantor itu. Seharian berdiri tak melakukan apa-apa. Hanya berkeringat dingin.
Tapi Tuhan Maha Adil, Bapak diterima saat tes hari berikutnya.
Kemudian Bapak tak henti bercerita, sambil mengangsurkan "roti ganjel rel" yang benar-benar bikin seret tenggorokan. Di kantornya banyak orang korupsi. Para cukong tak segan mengirim kulkas (barang mewah yang tak bisa kami miliki tahun-tahun itu) hingga mobil, bila bersedia membantu memuluskan hajatnya. Tapi Bapak tak mau, Honda gelatik warna biru -yang di beli dengan susah payah tanpa mencicil dan berhutang- adalah kebanggaan dan bukti keteguhan hatinya.
Di atas bukit Sampangan itu, entah kenapa otakku begitu mudah mencerna petuah dan ceritanya. Sambil memandang sungai Banjir Kanal dari kejauhan, itulah piknik kami yang paling mewah. Hingga kini kami, anak-anaknya, mengingat piknik sederhana itu dalam kantong memori yang terbaik. Kemudian kami tumbuh besar, Bapak dengan segala kesederhaannya mengajak kami naik kereta ekonomi ke pantai di balik Alas Roban, berpetualang naik motornya ke kampung halamannya (walau sepulang dari situ, aku sakit : masuk angin).
Dengan segala kebersahajaannya, beliau ingin mengajak kami piknik, berbahagia bersama. Karena rupanya di sanalah beliau merasa kami utuh sebagai keluarga.
Hari-hari ini, aku teringat Bapak. Mengingat piknik-piknik sederhana yang digagasnya. Mengingat cara beliau membuat kami utuh sebagai keluarga. Mengingat cara beliau bertutur, bernasehat saat hati kami gembira, sehingga otak mudah mencerna. Mengingat bahwa bahagia itu sederhana.
Maka, saya mengulang lagi kata-kata Bapak, di atas Bukit Sampangan. Jangan sandarkan bahagiamu dari hanya menikmati mimpi, karena itu artinya kamu hanya perlu tidur yang panjang. Temukan bahagia dari memperjuangkan impian, cita-cita. Mungkin itu bukan lagi impianmu, tapi impian anak-anak atau cucumu. Ajak anakmu nanti duduk di luar rumah, mencium bau rumput, mendaki bukit menginjak kasarnya pasir. Berikan lecet kulit kaki karena tergesek batu, luka di tangan akibat tergores tajamnya duri. Pada hakekatnya itu adalah pelajaran hidup yang sebenarnya.
Bahagialah pada apa yang kamu miliki, bukan atas apa yang kamu belum miliki atau atas apa yang orang lain miliki.
Hari ini, aku teringat Bapak.

No comments:

Post a Comment