Thursday, August 7, 2014

SITINJAU LAUIK - 23 Juli 2014

SITINJAU LAUIK. Tahun 1998, almarhum ayahku menyusuri 2000 kilometer dari rumah kami di Semarang untuk menemaniku meminang seorang wanita Minang. Kini, wanita Minang itu menjadi ibu dari anak-anakku.

Tahun 1998 almarhum ayahku, laki-laki yang hebat itu, seperti biasa tak banyak berbicara. Tapi aku tahu, saat melewati jalan berkelok di Sitinjau Lauik ini, ada pergolakan besar dalam pikirannya. Dia akan melepas putra pertamanya untuk hidup bersama seorang berbudaya asing dari tanah seberang dan melewatkan lebaran demi lebaran melawati Sitinjau Lauik yang eksotis tapi menyimpan beribu bahaya ini.

Kini, tahun 2014, laki-laki hebat itu sudah tiada. Aku, penerus generasinya, melewati kembali Sitinjau Luik sebagaimana enam lebaran yang telah lewat.

Dia melewatinya bersama aku, kini aku melewatinya bersama anakku.

Kini, tahun 2014 Sitinjau Lauik tak banyak berubah. Dia tak peduli hiruk pikuk ocehan soal demokrasi, analisa sok pintar dari pengamat karbitan atau presiden baru. Dia tetap eksotis, namun angker.

Seperti Sitinjau Lauik, kitalah yang menentukan arah masa depan kita, bukan orang yang kita puji atau caci maki.

Photo: SITINJAU LAUIK.  Tahun 1997, almarhum ayahku menyusuri 2000 kilometer dari rumah kami di Semarang untuk menemaniku meminang seorang wanita Minang.  Kini, wanita Minang itu menjadi ibu dari anak-anakku.  

Tahun 1997 almarhum ayahku, laki-laki yang hebat itu, seperti biasa tak banyak berbicara.  Tapi aku tahu, saat melewati jalan berkelok di Sitinjau Lauik ini, ada pergolakan besar dalam pikirannya.  Dia akan melepas putra pertamanya untuk hidup bersama seorang berbudaya  asing dari tanah seberang dan melewatkan lebaran demi lebaran melawati Sitinjau Lauik yang eksotis tapi menyimpan beribu bahaya ini.

Kini, tahun 2014, laki-laki hebat itu sudah tiada.  Aku, penerus generasinya, melewati kembali Sitinjau Luik sebagaimana enam lebaran yang telah lewat.  

Dia melewatinya bersama aku, kini aku melewatinya bersama anakku.

Kini, tahun 2014 Sitinjau Lauik tak banyak berubah.  Dia tak peduli hiruk pikuk ocehan soal demokrasi, analisa sok pintar dari pengamat karbitan atau presiden baru.  Dia tetap eksotis, namun angker.

Seperti Sitinjau Lauik, kitalah yang menentukan arah masa depan kita sendiri, bukan orang yang kita puji atau caci maki.

No comments:

Post a Comment