Monday, December 8, 2014

Ngepasin dan Ngipasin, 20 November 2014

NGEPASIN DAN NGIPASIN. Seingat saya, lelah belum selesai dan mata masih terkantuk saat kereta yang saya tumpangi beranjak pergi dari Stasiun Cikini -beberapa langkah berkeringat- dari tempat saya berkantor : Majalah DR. Februari 1998 baru saja selesai, Maret baru berjalan tujuh hari dan saya baru saja selesai membungkus, mengirim majalah DR dari percetakan ke agen. Peran sepele di sebuah perusahaan penerbit majalah.

Tak ada kabar apapun, hingga sore yang letih itu, seseorang dari kantor menelpon bahwa majalah DR -tempat saya bekerja- hilang dari pasaran, diborong dari tangan agen. Saya pikir -tadinya- ini adalah sebuah kabar gembira. Malam, teman ini menelpon lagi, minta saya nonton TV. Di tabung kaca, Menteri Penerangan saat itu, Jendral R Hartono, marah-marah. Situasi berubah genting.
Besok akan ada rapat darurat dengan direksi, kata teman yang bertelepon ini.
Setengah tergopoh, esok harinya, saya, beberapa teman dari redaksi bertemu dengan direksi yang berwajah sangat serius pagi itu. Duduk di sudut meja rapat, seorang pengacara kondang yang waktu itu hanya saya sering lihat wajahnya di koran dan majalah. Kesimpulan rapat pendek pagi itu, tugas saya mencatat permintaan ulang dari agen serta cetak ulang bila perlu. Pekerjaan penting lainnya para senior saya di redaksi yang meng-handle.
Situasi panas tak mereda hingga Maret menginjak hari ke sepuluh. Di Bursa Budi Utomo, saya sedang duduk mengobrol di tempat Parasian Sihite -yang kini sudah tak tahu di mana rimbanya- saya disusulin seorang teman.

"Segera balik ke kantor, situasi makin panas. beberapa orang dipanggil ke Mabes Polri untuk diinterogasi", katanya serius sambil mengelap peluh dari dahinya. Matahari sudah menjelang lingsir, ketika saya dipanggil balik ke ruang rapat. Direksi mengangsurkan selembar surat, saya dipanggil ke Mabes Polri. Saya pikir tamatlah riwayat.

Dengan metromini Pasar Minggu-Blok M saya hadapi hari-hari pemeriksaan penuh tanya : bagaimana masa depanku, bagaimana masa depan anak istriku bila benar aku terlibat kasus serius ini. Mengedarkan media makar, media penghina presiden.

Tapi Tuhan berkata lain, gerakan reformasi pun pecah. Kami yang dituduh makar, dilupakan. Demonstrasi dan aksi-aksi yang mulai panas lebih penting dari kami -karyawan media yang "tak ada duitnya". Setidaknya itu yang saya dengar dari perwira polisi yang bolak-balik memeriksa kami.
Majalah DR (dan belakangan TEMPO), orang-orang di dalamnya tempat saya belajar. Belajar bahwa perlu keseriusan yang sangat saat mengungkap kebenaran. Belajar bahwa resiko adalah teman dekat untuk membuka yang tersembunyi dan disembunyikan. Belajar bahwa menuliskan berita, dan kemudian tugas saya mengedarkannya, perlu sebuah kata : integritas. Integritas untuk bekerja menyampaikan berita, yang tidak sekedar kumpulan isu, atau kutipan-kutipan belaka.

Maka di hari-hari banyaknya berita berseliweran di media sosial, berbagi tautan sembarang tanpa latar belakang : saya teringat majalah D&R dan teman-teman di dalamnya. Walau dulu kami kecil, tapi kami tak hanya media yang bisa "ngepas-ngepasin" dan "ngipas-ngipasin".

Setidaknya itu menurut saya : mantan tukang packing dan tukang kirim majalah DR, TEMPO 1997-2002

*)Ditulis dengan segala hormat untuk almarhum YD, ZL dan senior-senior lain yang tak bisa saya sebut namanya satu persatu.

No comments:

Post a Comment