Monday, December 8, 2014

Mencintai Dunia, 12 November 2014

MENCINTAI DUNIA. Sore kemarin hujan, tapi tak ada hubungannya dengan cerita yang saya niatkan untuk tuturkan, sama sekali tidak. Tapi hujan kemarin mengantar kami, saya dan seorang teman yang sudah 20 tahun tak ketemu, pada sebuah diskusi hangat.
" Aku sekarang sibuk menjalankan hobby dan pekerjaanku,"kataku saat dia bertanya apa aktivitasku. Dia tak ber-facebook, produk Yahudi katanya. Dia tak henti bertanya soal kesibukanku, dan aku dengan senang hati menjelaskannya.
"Pekerjaanku saat ini mengantar anak-anakku sekolah di pagi hari, kadang menjemput kalau mereka menginginkannya. Menemani mereka jalan saat mereka jenuh dengan rutinitas. Aku juga sibuk dengan pekerjaanku yang lain travelling, serta gowes sepeda hingga berkeringat. Tak lupa, untuk keseimbangan, aku menjalankan hobiku. Saat ini ada tiga hobi yang sangat getol aku jalani : mengelola jualan kopi, menjadi Financial Planner atau orang bilang agen asuransi, dan banyak menulis serta mengisi seminar soal kemandirian dengan menjadi seorang entrepreneur".
Dia terhenyak, dengan "sengak" dia bilang, aktivitasmu terlalu berpusat pada dunia, kamu terlalu mencintai dunia. Buat apa sudah punya usaha, masih jadi agen asuransi segala. Semua hartamu akan dihitung dan ditimbang di akherat.

Ah, saya hanya bilang", Dulu ketika saya melamar istri saya, kondisinya berkecukupan-bukan berkelebihan. Orangtuanya dulu merawatnya dengan baik, makan cukup tiga kali sehari dengan nasi dan lauk yang enak. Setiap hari Minggu, orang tuanya mengajaknya berjalan-jalan ke kebon binatang atau sekedar melepas penat di taman. Dia wanita yang dibahagiakan oleh orangtua, orangtua yang berjuang keras agar anaknya bahagia".

Lalu, kalau sekarang, setelah jadi istriku nasibnya jadi sengsara betapa berdosanya saya. Dulu dia makan nasi tiga kali sehari, sekarang cuma makan indomie? Dulu dia acap melepas penat dengan berjalan melihat taman, tak salah bila kini aku bekerja keras agar dia bisa ikut melihat indahnya kota-kota di bumi beserta manusia yang hidup di dalamnya. Tak mungkinlah, dulu orangtuanya membahagiakannya, sementara aku menjerumuskannya dalam sengsara.

Lalu kalau anak-anak menjadi pendek cita-cita karena melihat orangtuanya hidupnya sengsara, tentu lebih berdosa lagi saya. Mereka tentu harus lebih baik hidupnya dari kami orang tuanya.

Seorang anak pasti melihat sepak terjang orangtuanya. Dia meniru dan meneladani. Bagaimana memberi mereka -setidaknya rencana- berumroh dan berhaji, kalau kita hanya ngomong saja. Bagaimana memberi sedekah : kalau mereka melihat kami, orangtuanya, lebih banyak bertengkar soal uang belanja yang kurang ketimbang beneran bersedekah dan berderma.

Maka, saya memungkasi diskusi, biarlah hidup seperti terlihat mencintai dunia, aku ingin kaya seperti Nabi Sulaiman Sederhana saja, aku ingin orang yang hidup bersamaku : istri, anak, pembantu para karyawan di gerai kopi, tim-ku di asuransi juga senang dan bahagia hidupnya. Bukan bahagia semata karena banyak uangnya, tapi karena mereka juga ikut membahagiakan orang lain di sekitar mereka.
Biarlah labelmu soal " mencintai dunia" menempel kepadaku. Doaku hanya satu, semoga besok tak kau suguhi anak dan istrimu dengan menu indomie setiap hari.

No comments:

Post a Comment