Monday, December 8, 2014

Melawan Nasi Pecel, 5 November 2014

MELAWAN NASI PECEL. Menjual bubur ayam di tlatah negeri orang yang punya konsep sarapan itu harus nasi pecel, pasti tidak mudah.
Tapi, kalau itu mudah tentu tidak akan jadi cerita indah untuk mbak Astrid dan suaminya, pemilik "resto" bubur ayam Abah Odil di Malang. Merintis dan membesarkan usaha dari kaki lima, hingga kini menjadi "resto" bubur -yang barangkali- terbesar di kota Malang adalah sepotong kisah indah yang saya rekam tadi pagi, saat kami berempat bertemu di lobby hotel tempat kami menginap.
Istri saya mengenal mbak Astrid sudah lama, semasa dia dan suaminya masih tinggal di Bogor sepuluh tahun lalu. Suaminya, dulu bekerja di sebuah kantor BUMN, bergantung pada tanggal duapuluhlima ke tanggal duapuluhlima yang lain. Hingga mereka memutuskan hijrah, ke sebuah kota dimana orangtua mbak Astrid sedang merintis berdagang bubur ayam di negeri para pelahap nasi pecel sebagai sarapan.
Dari kios kali lima pinggir jalan, kios semi permanen, hingga ruko keren di jl Soekarno Hatta sudah mereka lewati. Saat pertama berdagang bubur ayam, orang sekitar mereka mencibir," Mana laku jualan makanan buat orang sakit".
Di negeri pelahap nasi pecel sebagai sarapan, bubur adalah makanan untuk orang sakit tipes dan hepatitis.
Tapi mereka tak menyerah. Mereka kini menceritakan dongeng indah. Dongeng kesuksesan enam cabang kedai bubur ayam "Abah Odil" di kota Malang.
Mbak Astrid dan suaminya percaya bahwa manusialah yang menciptakan sekat bilik dalam tiap rentangan waktu. Yang semakin kecil bilik itu membuat mereka semakin nyaman. Sekat bilik itu berbentuk jam sembilan hingga jam lima, tanggal duapuluh lima dan beberapa festival bernama liburan.
Mereka tak mau terperangkap dalam sekat bilik dan festival itu. Mereka bekerja tak kenal waktu, mereka ciptakan festival liburan mereka sendiri tanpa sesak dan antri..Mereka percaya bahwa rentang penciptaan sukses bukan bergantung dari ukuran tanggal duapuluhlima ke tanggal dua puluh lima berikutnya. Mereka percaya bahwa sukses tidak berada di bilik waktu yang sesempit itu.
Satu dekade yang mereka perlukan untuk membuktikan. Mengalahkan dominasi nasi pecel di menu sarapan pagi, mengalahkan keinginan menyerah karena cibiran dan kata orang.
Mbak Astrid dan suami, terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi inspirasi untuk kami. Semur jengkol "Bang Odil" nya, kata istri saya, juga enak sekali.

No comments:

Post a Comment