Monday, December 8, 2014

Diaval, 25 November 2014

DIAVAL. Seekor burung gagak terperangkap di jaring yang dipasang petani. Burung berbulu gelap ini, umurnya, hanya tinggal sejengkal dari maut. Petani yang marah, menghampiri dengan sepotong besi pemukul di tangannya. Siap membunuh. Gagak menggelepar tak berdaya.

Hingga lewat di balik semak gandum, seorang ratu perkasa yang sedang patah hatinya. Semalam seorang sahabat memotong sayap simbol keperkasaannya, sayap kebanggaannya. "Berubahlah menjadi manusia," demikian bisik sang ratu membaca mantra.

Serta merta gagak itu kehilangan sayap menjelma tangan, paruh berubah jadi mulut. Tubuh membesar merupa manusia. Petani takjub, takut dan memilih kabur menyelamatkan diri.
Burung gagak, yang sudah menjadi seorang pemuda, lumayan ganteng, bersungut tak enak pada sang ratu, wanita dengan tanduk. Maleficent. "Kenapa kau ubah bentuk buluku yang halus, paruhku yang cantik dengan bentuk tubuh seperti ini, menjadi manusia,". Mukanya masam.

Sang ratu dengan kalem bertanya, siapa namamu?. "Diaval", jawabnya.

"Diaval, berhentilah mengeluh. Aku telah menolongmu,".

Tukang roti langganan kedengaran lewat di depan rumah. Anakku yang sedang santai pagi ini menonton Maleficent di depan tivi -karena sekolah libur- bergegas mengejarnya. Aku sendiri sedang asyik di jejaring sosial, gembira membaca liniwaktu : belakangan ini makin banyak yang tiba-tiba peduli pada "orang kecil". Foto-foto narsis mulai berkurang, berganti berbagai dalil dan tautan. Yang kelihatan cocok, yang kelihatan benar dan yang kelihatan menguntungkan.

Minum secangkir teh - sambil menghitung uang pembayaran gaji karyawan-karyawanku nanti siang- saya membayangkan Diaval, burung gagak yang bersungut ketika diselamatkan.

No comments:

Post a Comment