Tuesday, June 17, 2014

Mas Roch Diarto - 6 November 2013

Dalam perjalanan ke terminal Kampung Rambutan, di era 1995 dengan motor honda C 70 dan kebaikan hatinya, mas Roch Diarto -senior saya di Republika- membonceng sambil setia mendengar keluh kesah saya, sarjana baru yang bekerja dengan gaji Rp 350ribu sebulan. Hal yang selalu saya tanyakan adalah, "Apakah hidup saya akan berubah setelah ini, tak perlu bergelantungan di KRL yang penuh sesak, atau menyusahkannya dengan menumpang hingga terminal bis selagi pulang kerja".

Beliau selalu menjawab," Yakinlah, jangan hentikan cita-citamu "di sini", beranilah, berfikirlah, maka hidupmu akan berubah.". Mas Roch tak bosan menjawab pertanyaan yang sama, setiap kali saya minta kebaikan hatinya membonceng hingga terminal. Dulu, saya tak punya rumah, tak ada motor, apalagi mobil.

Kini, 18 tahun berlalu, semua sudah berubah. Jejak mas Roch Diarto sudah tak lagi bisa saya temukan. Hidup juga begitu, yang dulu tak ada, sekarang sudah ada. Jawaban mas Roch terbukti sudah, asal mau berani, berfikir dan bekerja ternyata semua yang tadinya mimpi bisa jadi nyata.

Tadi pagi, Diva, anak saya yang masih SD tiba-tiba bertanya,"Bapak, apa aku bisa sekolah keluar negeri?". Saya teringat mas Roch Diarto dan keyakinannya dulu, dan saya jadi ingat : bahwa -mungkin- mimpi saya sudah selesai, kini saya sedang berfikir dan bekerja untuk mimpi besar anak-anak saya. Mungkin kita semua harus begitu. Bismillah.

No comments:

Post a Comment